Direktur Eksekutif Green Sumatera: Sayful Anwar
Momentum memperingati Hari Air Sedunia 22 Maret 2021 lalu, mengajak kita merenung sejenak. Apa saja yang telah kita lakukan sebagai mahluk Tuhan selama ini terhadap nikmat air yang di berikannya kepada kita, dalam mengarungi kehidupan ini.
Kita tentu telah dapat merasakan, bagaimana dampaknya jika Tuhan memberikan nikmat air secara berlebihan tanpa henti. Dua hari dua malam saja air di datangkannya secara tiba-tiba dari langit dan hamparan sungai yang ada di sekitar kita, maka nikmat akan menjadi bencana.
Ketika air datang tanpa salam pada malam hari dengan gerombolan dari langit-Nya, pada saat itu juga beberapa belahan kota kita akan tergenang. Perabotan kita terapung, ternak bergelimpangan menemui habis kontrak hidupnya, bahkan tidak sedikit anggota keluarga kita yang malang ikut meninggalkan kita dalam bencana itu.
Untuk di wilayah Bengkulu kota, merupakan wilayah langganan peraduan air. Saat mereka datang untuk skala besar seperti biasa di Tanjung Agung, Rawa Makmur dan Kawasan Sawah Lebar Kota Bengkulu. Saat kondisi itu terjadi, banyak statemen yang saling menyudutkan.
Masyarakat menghujat pemerintah yang tidak peduli terhadap anggapan mereka. Pemerintah dengan segala konsep ‘manisnya’ tidak jarang pula menyalahkan masyarakat yang di anggap tidak menjaga sarana saluran air di lingkunganya.
Kondisi seperti itu terjadi di saat Tuhan datangkan airnya secara berlebihan. Nah……Bagaimana saat Tuhan kurangi pasokan air untuk mahluknya? Kita pernah dikuranginya jatah air hingga kurun waktu cukup lama seperti Tahun 1997 silam. Bahkan pada tahun itu, pemerintah sudah mengeluarkan status bencana alam. Itu dikatakan Deputi Bidang Klimatologi BMKG Widodo Sulistyo.
Pada saat itu di seluruh penjuru bumi mengeluhkan kekurangan air. Tanaman petani banyak mengalami gagal panen, hingga ber-imbas kekurangan pasokan pangan dan tidak jarang terdengar kasus kelaparan di belahan tanah air ini. Seperti datangnya bencana banjir kembali terjadi situasi saling menyalahkan antara pemimpin dan masyarakatnya. Semuanya merasa kelompok yang merugi.
Masyarakat menuntut pemerintah agar lakukan sesuatu untuk bencana kekurangan air ini. Pemerintah merasa sudah sangat maksimal melakukan langkah- langkah penanganan. Dari memberikan hujan buatan yang di anggarkan tidak sedikit dari keuangan negara, dari membuat proyek tanggul besar sekedar antisipasi ketika bencana ini datang kembali. Semua di sibukan dan panik demi mempertahankan keberlangsungan hidupnya untuk hari berikutnya.
Egois
Kondisi kedua kasus di atas akhir- akhir ini nyaris tidak pernah di jadikan sebuah pembelajaran. Bahkan sedihnya kita manusia cepat sekali melupakan banjir saat matahari sumringah. Mengabaikan kedatangan kemarau yang mengeringkan di saat ritik hujan menghampiri.
Itulah manusia yang di penuhi dengan sifat ke egoisanya. Begitu gampang melupakan sesuatu di saat dia telah lepas dari apa yang membuatnya sempit, bahkan tidak jarang di saat menjalani hari ini lupa kemarin dia seperti apa. Dengan siapa, melakukan apa dan berjanji buat apa.
Momentum memperingati Hari Air Sedunia Tahun 2021 ini, hendaknya di jadikan sebagai bahan evaluasi. Apa saja yang telah kita lakukan dan apa saja yang akan kita lakukan terhadap lingkungan ini. Baik kita selaku pemerintah yang sedang memerintah atau kita sebagai masyarakat biasa.
Jujurlah pada masing- masing kita, jika kita mau sejenak tarik ingatan kita kebelakang, di saat kita masih menjadi manusia sebenarnya. Penulis mencoba mengajak kita menjadi manusia sebenarnya. Yang mana saat itu kita belum dan atau tidak seberinggas sekarang.
Di mana kala itu kita sangat akrab dengan lingkungan sekitar kita, air yang bersih biru masih kita jumpai. Bukit yang hijau masih mengelilingi kita. Udara yang sejuk masik kita konsumsi. Lantunan nyayian burung pagi hari masih menghibur kita, tetapi itu jauh dan sangat jauh telah kita lewati. (bersambung)