Siapa Takut Beda, Ini Negeri Anak Muda

Apa yang mempersatukan tak selalu yang indah dan menyenangkan, kita bisa dipersatukan bahkan oleh permasalahan.

Pandemi sebenar-benarnya adalah kesempatan, sia-sia bila kita melewatkan setahun ini tanpa belajar betapa ternyata kita saling membutuhkan, betapa bersama adalah cara bertahan.

Menyepakati perbedaan memang tidak gampang, bukan watak yang tumbuh secara instan, butuh “toleransi”, sebuah kata yang seperti lalat, terdengar dengungnya tapi tak selalu kita raih wujudnya.

Toleransi harus dialami dan dirasakan, tak sebatas diajarkan atau disosialisasikan, salah satunya lewat pengalaman hidup menjadi minoritas.

Saya beruntung, pernah mendapatkan pengalaman itu dalam usia yang relatif muda. Usia saya saat itu 16 tahun, ketika ikut program pertukaran pelajar. Saya hidup dan tinggal selama setahun di sebuah keluarga asing di Amerika Serikat.

Saya tinggal di keluarga penganut Katolik taat, bahkan menjadi satu-satunya muslim di lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar. Terekspose pada situasi yang beragam, saya menghadapi banyak pertanyaan hingga tudingan, serta merasakan langsung keterbukaan dan penerimaan.

Interaksi yang saya dapatkan termasuk disiapkan makanan sahur setiap malam oleh ibu angkat yang beragama Katolik, ditemani puasa, pernah juga diantar ke masjid di luar kota untuk salat dan merayakan lebaran bersama komunitas Islam.

Namun, di sisi lain, saya juga pernah “dibully”. Saat salat di perpustakaan sekolah, saya pernah mendapat pertanyaan-pertanyaan diskriminatif, seperti “you’re a muslim, so, have u ever killed anyone?”.

Sejak kecil saya selalu diajarkan oleh orang tua untuk tidak boleh pilih-pilih teman. Abi Quraish memperoleh pelajaran ini juga dari didikan kakek saya, Habib Abdurahman Shihab.

Sejak dulu, rumah Abi di Makassar memang selalu ramai dengan sahabat-sahabat Habib dari berbagai kalangan, termasuk para non-muslim. Malah ada sahabat Habib, keturunan Tionghoa, sering datang ke rumah untuk belajar bahasa Arab.

Rumah Abi Quraish di Makassar dulu memang jadi penampungan bagi pelajar dan mahasiswa yang merantau ke Makassar. Jadi, saya selalu berinteraksi dengan beragam kalangan.

Dulu, waktu Abi kecil, Habib selalu mengajak anak-anaknya, terutama yang laki-laki, berjalan bersama ke masjid. Di gerbang masjid, biasanya Habib meminta anak-anak masuk dari pintu yang berbeda-beda.

Ini salah satu cara Habib mengajari anak-anaknya melihat segala sesuatu secara saksama. Tidak hanya dari satu sisi, tidak sepotong-sepotong.

Dalam ritual keagamaan, Abi juga dididik akan pentingnya sikap toleran dan menjauhi fanatisme.

Kebenaran dalam rincian agama bisa beragam dan satu-satunya cara untuk hidup harmonis adalah mengedepankan toleransi, tanpa melunturkan keyakinan dan tradisi.

Soal keberagaman ini, Abi kerap memberikan analogi, “hidangan Allah itu beragam, ada teh, ada kopi, ada susu. Allah memberikan aneka hidangan itu untuk kita pilih. Allah tidak bertanya ke kita lima tambah lima itu berapa, karena jawabannya hanya satu, yakni sepuluh.

Tapi, Allah bertanya ke kita, sepuluh itu berapa tambah berapa? Jawabannya bisa satu tambah sembilan, dua tambah delapan, tiga tambah tujuh, dan seterusnya”.

Habib Abdurahman juga sering menyampaikan pesan ke Abi soal pentingnya menuntut ilmu dan meraih pendidikan tinggi. Katanya, “Aba—ini panggilan Abi untuk ayahnya—tidak akan meninggalkan harta buat kalian, tapi semoga bekal pendidikan dapat Aba usahakan, kalau perlu Aba jual gigi (palsu dari emas)…”

Cinta ilmu dan pentingnya bergaul dengan beragam kalangan adalah nilai yang dijunjung tinggi oleh Abi Quraish, hasil didikan Habib. Karena itu pula saya diizinkan untuk pergi setahun ke Amerika Serikat saat masih belia, padahal sempat diprotes beberapa orang.

Banyak yang bilang, “Masa anak perempuan kecil dibolehkan ke Amerika dan tinggal sama orang enggak dikenal yang bukan muslim?”

20 tahun saya menjadi wartawan, saya beruntung karena punya kesempatan untuk melihat langsung berbagai peristiwa yang memengaruhi lanskap dunia saat ini: lahirnya negara baru, perjanjian damai, penyerahan senjata, pemilu demokratis, sayangnya juga aksi terorisme, pergolakan politik, bencana alam, perang, dan konflik.

Kita hidup di dunia yang sangat kompleks, yang dengan mudah bisa menjadi lahan subur untuk kesalahpahaman. Maka dari itu, kemampuan beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang beragam sangat penting.

Saya percaya pemimpin masa kini dan masa depan adalah yang memiliki kemampuan itu, ‎kemampuan berkomunikasi melampaui batas-batas budaya.

Bukan sebatas jago berbahasa asing, tapi juga peka dengan sensitivitas terhadap budaya lain, dan punya insting untuk selalu mencari common ground, pikiran yang terbuka, perspektif yang luas.

Pengalaman menjadi wartawan itu juga memungkinkan saya untuk berbicara dengan sosok-sosok yang tidak biasa. Latar belakang dan situasi mereka beragam, kadang-kadang ekstrem. Mulai dari pemimpin yang berpengaruh, presiden, aktivis, peraih nobel, pahlawan, penyintas, juga koruptor, teroris, dan terpidana mati.

Saya mulai mengenali karakter dari sosok-sosok inspirator, pemimpin yang begitu dicintai rakyat, orang-orang biasa yang punya determinasi luar biasa. Mereka adalah kepala-kepala yang 1) mau mendengarkan orang lain, 2) tidak memaksakan kehendak, 3) melihat dari perspektif yang berbeda, dan 4) sadar masing-masing dari kita adalah orang yang berbeda, sehingga perlu mencari gol bersama yang mempersatukan.

Dimulai dengan sederhana, menyadari ada sejuta fakta yang tak bisa dilihat hanya dari sepasang mata. Kita butuh sepasang mata yang masih jernih, tidak dilelahkan oleh perbedaan. Apa yang terlihat dari mata itu adalah dunia sebagai jutaan kemungkinan, sebagai kesempatan merayakan keberagaman.

Saya percaya, itu yang terlihat dari sepasang mata anak muda hari ini.

Penulis: Najwa Shihab