Sabuk Hijau Bengkulu dan Tsunami

Presiden Jokowi melakukan penanaman mangrove bersama masyarakat di Pantai Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pada Selasa, 28 September 2021. Foto: Biro Pers Istana
Presiden Jokowi melakukan penanaman mangrove bersama masyarakat di Pantai Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pada Selasa, 28 September 2021. Foto: Biro Pers Istana

Infonegeri, BENGKULU – Mengatasi resiko akan bencana alam harus disadari sejak dini, masyarakat dapat berperan aktif dalam mengurangi resiko bencana alam seperti salah satunya adalah pengetahuan kearifan lokal dengan karakteristik setiap daerah, karena masyarakat harus sadar bahwa lingkungan punya ancaman.

Hal tersebut pernah disampaikan Kepala BNPB Donny Munardo, dalam acara pembekalan kebencanaan bagi media di Graha BNPB, bahwa salah satu kearifan lokal yang bisa diadopsi ialah menanam vegetasi, seperti mangrove, di kawasan pesisir pantai, karena kecepatan gelombang tsunami bisa tereduksi dengan ketebalan mangrove.

Seperti dilansir mediaindonesia.com Donny mencontohkan, ketika terjadi tsunami di Aceh pada 2004, korban di wilayah Simeuleu cenderung lebih sedikit karena disana terdapat vegetasi mangrove. “Bandara Sendai di Jepang juga tidak rusak terlalu parah karena ada tembok laut dan vegetasi,” tutur Donny, Kamis (21/2/2019).

Sedangkan dalam UU RI Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, pasal 26 (1) menyebutkan setiap orang berhak: (a) mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana; (b) mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Poin selanjutnya setiap orang juga berhak (c) mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana. (d) berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial.

Begitupun pada poin (e) berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan yang terakhir poin (f) melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.

UU tersebut juga disampaikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bengkulu diwakili kepala bidang (Kabid) Pencegahan & Kesiapsiagaan (PK) Riswandi, ia mengatakan kita harus berkomitmen dengan Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

“Tanggungjawab dan wewenang, serta hak kewajiban masyarakat dalam UU RI Nomor 24 tahun 2007 pasal 26 (1) setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana,” ungkapnya, Selasa (14/7/2020) saat diwawancarai perihal penebangan di kawansan TWA Pantai Panjang.

Untuk saat ini dalam menjaga kawasan sabuk hijau sebagai penyangga gelombang tinggi tsunami yaitu tanaman mangrove dan pohon-pohon sebagai pemecah gelombang. Apalagi pesisir Bengkulu relatif kosong dan sebagian merupakan permukiman.

“Potensi akan terjadi tsunami Bengkulu hingga mencapai delapan meter, dengan adanya kawasan sabuk hijau sepanjang pantai panjang sebagai penyangga gelombang tinggi adalah salah satu solusi untuk melindungi Kota Bengkulu,” jelasnya.

Sedangkan Kota Bengkulu sendiri menurut data peta bahaya akan rawan bencana banjir tersebar di sembilan kecamatan. “Kecamatan Selebar, Kampung Melayu, Gading Cempaka, Ratu Agung, Ratu Samban, Singaran Pati, Teluk Segara, Sungai Serut dan Muara Bangka Hulu,” katanya.

Jika Bengkulu Tsunami

Pada saat ini ancaman abrasi pantai, intrusi air laut kedaratan, sudah dirasakan cukup parah. Belum lagi ancaman tsunami, karena Provinsi Bengkulu terletak pada wilayah rawan bencana gempa bumi tektonik yang berpotensi mengakibatkan bencana tsunami.

Hal tersebut menurut data hasil kajian risiko Bencana yang disusun oleh BNPB tahun 2015, terlihat bahwa jumlah jiwa terpapar risiko bencana tsunami tersebar dibeberapa Pulau dengan jumlah melebihi 4 juta jiwa dan nilai aset terpapar melebihi Rp. 71 Triliun.

Secara rinci, hasil kajian risiko bencana tsunami matrik jumlah paparan risiko bencana tsunami di wilayah Provinsi (rekapitulasi risiko bencana sedang-tinggi). Provinsi Bengkulu sendiri sosial (jiwa) 77.888, fisik (Rp.Juta) 530.356, ekonomi (Rp. Juta) 511.212, dan lingkungan (hektare) 181.

Mangrove Pulihkan Bengkulu

Walhi Bengkulu: Seluas 164 hektar hutan mangrove di Bengkulu dalam kondisi rusak, kondisi baik terdata 2.274,9 hektar dan kondisi sedang sebanyak 166,05 hektar dari total kawasan hutan mangrove yang mencapai 2.604,95 hektar. Kondisi ini kemudian berpengaruh besar dalam peran penting sebagai penjaga keseimbangan antara ekosistem darat dan perairan di wilayah pesisir.

Melihat permasalahan tersebut, sudah seharusnya pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas sebagai upaya konservasi dan kepastian rencana zonasi hutan mangrove, rehabilitasi kawasan mangrove dan edukasi kepada kelompok masyarakat untuk penguatan pengembangan matapencaharian alternative disekitar kawasan mangrove.

Secara geografis Provinsi Bengkulu memiliki hutan pantai dan hutan mangrove yang luasannya mulai menyusut akibat aktifitas pembangunan yang tidak berorientasi pada perlindungan kawasan. Provinsi Bengkulu menjadi bagian dari sebaran ekosistem mangrove Indonesia yang tersebar di wilayah pesisir terutama Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu.

Secara geografis Provinsi Bengkulu sebagai salah satu wilayah kemaritiman yang mempunyai wilayah pesisir dengan luas perairan (laut) mencapai kurang lebih 12.335,2 km² dan panjang garis pantai mencapai kurang lebih 525 km serta yang sebagian besar wilayahnya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Program rehabilitasi mangrove nasional dengan target 620 ribu hektar sampai tahun 2024 yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir sekaligus mendorong peningkatan ekonomi masyarakat yang sebenarnya dapat menjadi momentum untuk memperbaiki ekosistem mangrove.

Untuk tahun 2021 ditargetkan seluas 124 ribu  hektar yang akan dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sementara Provinsi Bengkulu pada bulan November tahun 2020, telah melakukan penanaman mangrove seluas 50 hektar yang antara lain di Taman Wisata Alam Pantai Panjang seluas 9 hektar, Kelurahan Padang Serai 2 hektar, Kelurahan Beringin Raya 5 hektar dan Desa Tawang Rejo Kecamatan Air Periukan Kabupaten Seluma seluas 34 hektar.

Padat karya penanaman mangrove ini merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di 34 Provinsi dengan total penanaman 15 ribu hektar.

Mangrove untuk Mitigasi Bencana

Kawasan sepanjang pesisir barat Bengkulu merupakan daerah paling rawan saat ini, karena daerah ini paling dekat dengan segmen Mentawai yang sangat aktif kegempaannya. Menurut para ahli gempa dan tsunami serta geologi, segmen Mentawai berada pada periode waktu perulangan sekitar 175 tahunan.

Daerah ini pernah dilanda tsunami besar pada tahun 1833 dan akhir-akhir ini aktivitas gempa meningkat tajam. Masalah lain konsentrasi pemukiman penduduk banyak di sepanjang kawasan pantai, karena matapencaharian mereka kebanyakan sebagai petani dan nelayan.

Kondisi ini diperparah dengan fenomena Perubahan Iklim yang mempengaruhi itensitas gelombang laut akibat adanya siklon tropis. Walaupun siklon tropis tidak terjadi di wilayah ekuator, namun siklon tropis diyakini dapat memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung kepada Indonesia khususnya Bengkulu.

Hal tersebut juga diperkuat oleh BMKG (Badan Meteorologi dan Geofisika) dalam laporannya tentang Tern Iklim 2020 dan Perubahan Iklim yang menyimpulkan munculnya gangguan intra-musiman seperti MJO dan siklon tropis yang dapat meningkatkan atau mengurangi jumlah curah hujan dasarian.

Salah satu upaya dalam mitigasi bencana di pesisir pantai Provinsi Bengkulu dapat  dilakukan dengan melakukan Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Perlindungan berupa Kawasan Sempadan Pantai. Penanaman mangrove sebaiknya dilakukan Sempadan Pantai Kritis.

Dimana dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 35/Menhut-II/2010 menyebutkan Sempadan Pantai Kritis adalah kawasan pantai tertentu yang kondisinya tidak bervegetasi atau kerapatan vegetasi jarang, dan terjadi abrasi berat atau berpotensi terjadinya abrasi/erosi dikawasan pantai.

Garis sempadan pantai juga merupakan bagian dari kawasan perlindungan setempat selain kawasan sekitar danau / waduk, dan kawasan sekitar mata air sesuai dengan Pasal 5 Ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Penetapan Batas Sempadan Pantai dengan mempertimbangkan resiko bencana dan pengendalian pemanfaatan ruang di sempadan pantai seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.

Dan begitupun dalam peraturan Undang-undang 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 1 angka 21 dan Pasal 56 Ayat 1 yang menjelaskan Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Kemudian Undang-undang 27 th 2007 dalam Pasal 3 menyebutkan (1) Pemerintah Daerah menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain. (2) Penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan: a. Perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; b. Perlindungan pantai dari erosi atau abrasi; c. Perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; d. Perlindungan terhadap ekosistem pesisir seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta; e. Pengaturan akses publik; serta f. Pengaturan untuk saluran air dan limbah.

Mangrove dapat menjadi alternative mitigasi bencana di pesisir Provinsi Bengkulu. Rehabilitasi mangrove selain untuk mempertahankan ekosistem di pesisir pantai juga merupakan salah satu upaya dalam meminimalisir dampak bencana tsunami, banjir dan abrasi yang telah dipraktekan di beberapa daerah.

Kemampuan mangrove dalam mitigasi bencana disebabkan struktur vegetasi mangrove yang dapat beradaptasi dan  tumbuh pada habitat ekstrim. Adaptasi terjadi pda struktur daun dan perakaran sehingga mangrove mampu berperan dalam mitigasi berbagai bencana di wilayah pesisir pantai. [Soprian]