
Infonegeri, BENGKULU – Pendampingan hukum litigasi dan non-litigasi untuk mewujudkan pengakuan, perlindungan, dan pemulihan hak-hak masyarakat sipil. Khususnya dalam perspektif ruang hidup, HAM, dan hak konstitusional sebagai warga negara.
Itulah yang disampaikan Zelig Ilham Hamka, S.H, selaku Koordinator Reforma Agraria, Akar Foundation saat menggelar jumpa pers pada Senin 28 Maret 2022, yang telah menerima kuasa dari Petani di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.
“Akar Law Office menerima kuasa dari 187 orang petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) untuk membela hak-hak dalam menghadapi konflik agraria yang saat ini berdampak pada terenggutnya rasa keamanan, kenyamanan, keadilan, dan jaminan perlindungan hidup yang tentram.” Ungkap Zelig dihadapan awak media.
Zelig juga menyampai peristiwa tersebut terjadi karena perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak dan pengakuannya, yang kemudian dihadapkan pada alat–alat kekerasan dari korporasi maupun aparat kepolisian yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat.
“Konflik ini disebabkan oleh ketimpangan penguasaan sumber agraria, sehingga pembelaan dan pendampingan ini bukan hanya dan untuk anggota PPPBS semata, namun suatu kepentingan kemanusiaan kita bersama.” Jelasnya.
Duduk Perkara:
Objek agraria yang menjadi sumber kompetisi hak dalam kasus ini pada awalnya adalah lahan garapan masyarakat Malin Deman. Wilayah tersebut memiliki fungsi sosial dan budaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menanam Padi, Kopi, Jengkol, dan tanaman komoditi pangan lainnya.
Pada tahun 1995 wilayah tersebut dialihkan menjadi lahan perkebunan dengan komoditi Kakao dan Kelapa Hibrida melalui konsesi HGU kepada PT. Bina Bumi Sejahtera (BBS) seluas 1889 Ha. Namun, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditi Kakao seluas 350 Ha dan Kelapa Hibrida seluas 14 Ha di atas lahan konsesi tersebut selama 2 tahun. Sehingga setelah 2 tahun (Tahun 1997) pihak perusahaan tidak mengelola lahannya, sebagian besar warga sekitar beserta dengan warga yang belum mendapatkan ganti rugi dari PT.BBS mulai menggarap lahan HGU terlantar PT. BBS tersebut.
Pada Tahun 2005, lahan HGU terlantar PT. BBS yang telah dikelola oleh masyarakat tersebut diklaim oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT. DDP dan PT. BBS. Bermodalkan klaim tersebut, PT. DDP mulai melakukan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat yang telah menggarap lahan HGU terlantar PT. BBS dengan melakukan penanaman komoditi sawit, pemaksaan ganti rugi, dan melakukan tindakan represif.
Menyikapi hal demikian, beberapa masyarakat yang telah menggarap lahan HGU terlantar PT. BBS memilih bertahan di tengah berbagai ancaman dan ketidakamanan dalam pengelolaan lahan garapannya.
Sejak Tahun 2012 hingga saat ini, ragam upaya seperti pengaduan ke aparat kepolisian, pemerintah kabupaten dan provinsi, serta perwakilan rakyat di Kabupaten Mukomuko telah ditempuh oleh masyarakat setempat dalam memperjuangkan kepastian hak atas lahan garapan mereka. Namun, semua upaya yang telah dilakukan tersebut tidak berujung pada pengakuan dan perlindungan hak yang diperjuangkan.
15 Tahun masyarakat yang menggarap lahan HGU terlantar PT.BBS harus dihadapkan dengan konflik, hingga Tahun 2020 masyarakat penggarap memilih untuk membentuk kelompok perjuangan yang dinamakan Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS).
Pada Bulan Agustus Tahun 2021, PPPBS melalui kebijakan Reforma Agraria sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria mengajukan usulan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan subjek 187 orang masyarakat dan objek lahan usulan seluas 603,87 Ha kepada Bupati Mukomuko, Kantor Pertanahan (BPN) Kabupatenj Mukomuko, Gubernur Bengkulu, Kantor Wilayah BPN Provinsi Bengkulu, dan Kementerian ATR/BPN. Hingga saat ini usulan dari anggota PPPBS tersebut masih menunggu untuk ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang.
Kondisi Faktual:
Pada Tanggal 18 Maret 2022, Anggota PPPBS mendapatkan informasi bahwa ada 60 orang personil gabungan Brimob dan Kepolisian setempat dengan menggunakan 6 mobil untuk melakukan pengawalan terhadap PT. DDP dalam menjalankan aktivitas perkebunannya.
Setelah masuknya aparat kepolisian tersebut, terjadi pencurian buah sawit masyarakat, pembakaran pondok masyarakat, dan penangkapan masyarakat yang dilakukan oleh pihak PT. DDP dengan pengawalan aparat kepolisian.
Anggota PPPBS yang menjadi korban dari tindakan represif perusahaan dan aparat kepolisian pencurian buah sawit pada 18-21 Maret 2022, lahan kelola anggota PPPBS: Baihaki (51) Harmoko (37) Abu Tolib (30) Edi Supri (40) Rahmatsidi (39) M. Zul (38).
Tidak sebatas itu dihari yang sama pada 18-21 Maret 2022, tindakan represif perusahaan dan aparat kepolisian, diduga juga pembakaran pondok di lahan kelola milik anggota PPPBS atas nama Suharto (52) Irawan (42) Khairul Nas (52) Ramli (48) dan Adnan (60).
Pada hari selanjutnya setelah ada korban atas dugaan pencurian buah sawit dan pembakaran pondok, Selasa 22 Maret 2022 juga terjadi penangkapan dan pemukulan terhadap warga yakni: Almazni (45) Sajibun (31) saat pemeriksaan oleh aparat kepolisian.
Pembakaran juga dilakukan oleh pihak PT. DDP dengan pengawalan aparat kepolisian terhadap 2 posko PPPBS yang dijadikan tempat berkumpulnya anggota. Kemudian, dalam penangkapan terhadap Almazni (45) dan Sajibun (31) juga terdapat beberapa proses yang inprosedural dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian diantaranya, proses penangkapan yang dilakukan tanpa dengan dugaan pelanggaran dan/atau tindak pidana yang dilakukan oleh keduanya, penggeledahan-penyitaan dan pemeriksaan ponsel kedua korban tanpa izin atau kelengkapan surat, pemeriksaan di Kantor Kepolisan Sektor Mukomuko Selatan yang disertai dengan tindakan pemukulan terhadap Sajibun (31), dan penggabungan laki-laki dan perempuan dalam 1 ruang pengamanan atau penahanan.
Meskipun 2 anggota PPPBS yang ditangkap oleh aparat kepolisian dan diamankan di Posek Mukomuko Selatan tersebut pada akhirnya dikeluarkan pada Tanggal 23 Maret 2022, namun tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian tidaklah dapat didiamkan dan tetap harus ditindaklanjuti.
Keterangan dari anggota PPPBS, bahwa setiap masyarakat yang memiliki lahan kelola di area HGU terlantar PT. BBS akan diamankan oleh aparat kepolisian. Dan, patut diduga upaya penangkapan, pencurian buah sawit masyarakat, dan pembakaran pondok masyarakat masih akan terus dilakukan oleh PT. DDP yang dikawal oleh aparat kepolisian.
Tindakan Represif Pihak PT. DDP dan Aparat Kepolisian
Sebagai komponen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Kepolisian memiliki tanggung jawab untuk memastikan terpeliharanya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat. Namun, dalam kasus ini terjadi disparitas pada aparat kepolisian dalam melihat dan menindaklanjuti konflik yang terjadi di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko.
Kedatangan pihak kepolisian ke dalam area konflik secara besar-besaran telah berdampak pada kecemasan dan ketakutan yang berlebih di dalam masyarakat. Stigma polisi yang akrab dengan kekerasan menimbulkan hilangnya rasa aman bagi masyarakat dan tentu saja bertentangan dengan komitmen negara dalam hal melindungi, menghormati dan juga memenuhi hak setiap masyarakat.
Dalam hal ini, kepolisian abai untuk memberikan perlindungan hak atas rasa aman bagi masyarakat yang secara jelas terdapat di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 30 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.
Kemudian, aktivitas penangkapan terhadap masyarakat yang dilakukan dan berujung pada penggunaan-penggunaan pendekatan kekerasan yang acap kali dilakukan kepolisian tentu juga sangat bertentangan secara konstitusional, karena setiap warga negara memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan juga bebas dari bentuk-bentuk penyiksaan yang tertera di dalam ratifikasi ICCPR (UU Nomor 12 Tahun 2005) juncto pengesahan atas Convention Againts Torture (CAT) konvensi menolak kekerasan, serta secara jelas dinyatakan di dalam UUD 1945 pasal 28 G.
Penggunaan kekerasan yang berlebihan serta penangkapan tanpa didasarkan pada alat bukti yang kuat terhadap anggota PPPBS sangat bertentangan dengan peraturan kepolisian secara internal, yakni Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana dalam Perkap ini menyatakan secara eksplisit terkait pendekatan-pendakatan kepolisian yang harusnya berlandaskan pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam menyelenggarakan setiap tugas dan fungsinya.
Upaya hukum yang sudah dan akan dilakukan berkaitan dengan upaya hukum yang sudah dan akan di lakukan, akan di bagi dalam 2 langkah advokasi di antaranya:
Non-Ligitasi
- Melakukan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap anggota PPPBS (Telah dilakukan pada Tanggal 23 Maret 2022);
- Melaporkan aparat kepolisian yang melakukan penangkapan secara ilegal terhadap 2 (dua) orang anggota PPPBS kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Propram) Polda Bengkulu atas dugaan penangkapan dan pemeriksaan yang sewenang-wenang, cacat prosedural dan formal berdasarkan Perkapolri dan KUHAP (Akan dilakukan pada Tanggal 28 Maret 2022);
- Inventarisasi dan identifikasi pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi terhadap anggota PPPBS atas konflik lahan dengan PT. DDP secara komprehensif. Hasil identifikasi ini akan dijadikan dasar dalam perlindungan dan pemulihan hak-hak anggota PPPBS (Akan dilakukan pada Tanggal 01 April 2022).
Litigasi
Pengajuan gugatan KTUN terhadap Surat Keputusan HGU PT. BBS. Hal ini dilakukan berdasarkan pada dugaan penelantaran HGU, Peralihan HGU antara PT.BBS dan PT. DDP secara illegal, dan peralihan komoditi secara illegal. (Akan dilakukan setelah permohonan informasi HGU ke Kementerian ATR/BPN dipenuhi). [SA]