Belajar dari Ibu Suin, Memulihkan Hutan yang Rusak

Caption foto: Ibu Suin Pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain Balikpapan, dan Moderator Grita Anindarini dalam acara Webinar Agenda Pasca Pencabutan Izin: Memperkuat Ruang Kelola bagi Perempuan Indonesia, Rabu (2/2)
Caption foto: Ibu Suin Pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain Balikpapan, dan Moderator Grita Anindarini dalam acara Webinar Agenda Pasca Pencabutan Izin: Memperkuat Ruang Kelola bagi Perempuan Indonesia, Rabu (2/2).

Infonegeri, JAKARTA – Ibu Suin adalah seorang petani perempuan. Sejak kecil, bersama orang tuanya, ia tinggal di daerah Sungai Wain, Balikpapan. Kawasan itu dulu banyak yang datang hanya untuk merambah hutan, mencari kayunya, hingga sering terjadi kebakaran saat musim kemarau tiba.

“Saat kecil, di tempat saya marak perambahan hutan. Ayah saya diajak tapi tidak pernah tertarik sama sekali untuk ikut melakukan perambahan hutan,” kata Ibu Suin dalam Webinar Agenda Pasca Pencabutan Izin: Memperkuat Ruang Kelola bagi Perempuan Indonesia, pada Rabu (2/2).

Menurut Ibu Suin, melihat kondisi yang seperti itu, ayah Ibu Suin berinisiatif untuk bisa merawat dan mengelola hutan tersebut dengan lebih baik, dengan cara menanami buah-buahan.

Namun, ternyata untuk melakukan itu tidaklah mudah karena ayahnya belum mendapat izin dari pemerintah hingga bisa dikatakan kegiatan yang dilakukan ayahnya adalah ilegal.

“Meskipun dari kehutanan itu tidak boleh untuk digunakan karena belum ada izinnya, orang tua tetap nekat untuk mengelola, menanam, karena tidak merusak hutan,” kata Ibu Suin.

Dalam perkembangannya, usaha untuk merawat hutan tersebut dilanjutkan oleh Ibu Suin. Ia bersama dengan para perempuan membentuk kelompok tani Mekar Bakti. Bersama kelompok tani ia mengembangkan pertanian di dalam hutan lindung di kawasan Sungai Wain Balikpapan.

Salah satu bentuk pengembangannya adalah dengan menanami kawasan tersebut dengan buah-buahan dan melakukan budidaya buah-buahan salak, merica, elai (durian lokal Kalimantan), karet.

Namun, sama seperti yang dialami ayahnya, Ibu Suin dan Kelompok Tani Mekar Bakti merasa takut bagaimana jika nanti apa yang dilakukannya berbuntut pada tindakan kriminal, karena mereka belum mendapat izin.

“Tapi kami tetap was-was. Kalau misal diambil pemerintah bagaimana? Akhirnya dengan bantuan warga sekitar, kita bersama mencari cara bagaimana mengelola hutan yang dengan aman,” katanya.

Ibu Suin mengatakan sejak tahun 2008 ia dan kelompok tani Mekar Bakti sudah mencoba mendapatkan izin mengelola kawasan hutan.

“Alhamdulillah, 2013 izinnya keluar. Izin hak kelola HKm (Hutan Kemasyarakatan_red.). Jadi kita sekarang alhamdulillah sudah bisa tenang menggarap lahan itu dan kita bisa memanfaatkan,” kata Ibu Suin.

Setelah mendapatkan izin tersebut, imbuh Ibu Suin, kehidupan masyarakat semakin membaik di banding sebelumnya, termasuk para perambah itu akhirnya tidak lagi melakukan perambahan.

“Jadi para perambah hutan itu akhirnya sadar dengan sendirinya. Perambah-perambah hutan yang pergi mengambil kayu, hidup dari kayu, itu mereka berhenti. Jadi sekarang mereka aktif juga mengurus HKm. Kita-kita bekerjasama untuk mengelola kawasan itu dengan baik,” terangnya.

Namun, untuk bisa menjadi salah satu model percontohan pengelolaan hutan itu tidaklah mudah. Ibu Suin mengatakan ada tantangan tersendiri ketika perempuan yang bergerak untuk mendapatkan izin. Gerakan kelompok perempuan tersebut tidak serta merta mendapatkan dukungan masyarakat, karena biasanya yang mengurus adalah kelompok laki-laki.

“Tantangannya agak sulit karena saya yang urusin. Karena biasanya yang ngurus bapak-bapak. Agak sulit orang-orang mendukung kita. Tapi alhamdulillah dengan kerja keras ibu-ibu dan dibantu dengan bapak-bapak, akhirnya berhasil,” kata Ibu Suin.

Ibu Suin juga mengatakan pihaknya sekarang membuat kelompok khusus perempuan untuk bergotong-royong mengelola hutan, karena selain sudah mendapatkan izin, juga sudah mendapatkan keuntungan ekonomi atau profit.

“Itu kan sudah dapat izin dan hasilnya sudah lumayan. Sayang kalau misalnya cuman terbuang. Selama ini kita kan kerja menanam, bertani, berkebun, masak mengandalkan cuman dari pengepul, begitu panen musim banyak terbuang percuma tidak ada pembelinya,” imbuhnya.

Karena itu, pihaknya kini sedang mengembangakan pengolahan hasil tani dan berkebun sendiri, seperti olahan buah salak menjadi asinan dan manisan, keripik salak, sirup salak dan lumpia salak.

“Harapannya saya dibantu untuk mendukung dalam mengelola buah salak, mesin dan cara-caranya. Dan juga harapan saya untuk jalan ke kebun karena sangat susah membawa hasil kebun kami untuk keluar di saat hujan turun seperti saat ini. Jalan yang utama,” harap Ibu Suin.

Editor: Soprian Ardianto