Infonegeri, JAKARTA – Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menegaskan bahwa tidak ada kesenjangan gender dalam pengelolaan dan pemanfaatan Perhutanan Sosial (Perhutsos), serta menjamin keterlibatan perempuan mulai dari tingkat tapak hingga pengambilan Kebijakan
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL), Erna Rosdiana pada Rabu (23/3) menegaskan bahwa dalam Peraturan Menteri LHK No. 9 tahun 2021 tidak ada kesenjangan gender.
“Saya kira sudah jelas di dalam kebijakan. Di dalam peraturan-peraturannya sudah nyata disebutkan bahwa perhutanan sosial ini untuk masyarakat lokal, baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada pembedaan,” kata Erna.
Dalam praktiknya, Erna menjelaskan bahwa sejak awal, kebijakan Perhutsos sudah sangat memperhatikan kepentingan perempuan, baik para pendamping di tingkat tapak, maupun para pengambil kebijakan di Ditjen PSKL.
“Misalnya, saat melakukan sosialisasi ke lapangan. Itu tentu memberikan penekanan-penekanan kepada kelompok-kelompok perempuan agar mereka juga mau menyampaikan aspirasinya, ‘teguran sapa’ kepada perempuan juga harus selalu dilakukan. Itu salah satu metode sosialisasi yang memang harus dilakukan sejak awal,” kata Erna.
Menurut Erna, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar juga selalu menegaskan dan memberikan arahan untuk melibatkan perempuan di dalam pengelolaan Perhutsos, dari tingkat masyarakat sampai di kalangan internal KLHK.
Sehubungan dengan syarat administrasi pengajuan izin Perhutsos yang diwakili kepala keluarga –yang notabene adalah seorang laki-laki– sebagai pihak yang dapat melakukan pengajuan, Erna menjelaskan bahwa dalam peraturan baru tidak mengharuskan yang mengajukan adalah kepala keluarga.
“Bisa juga ibunya atau ibu rumah tangganya yang masuk di dalam SK itu. Tapi yang jelas satu keluarga di wakili oleh satu orang. Bahkan pernah terpikir bahwa SK perhutanan sosial ini kita berikan kepada ibunya saja. Kenapa ibunya saja? Karena tanah itu adalah ibu,” terang Erna dalam Podcast Seri-9 Publikasi dan Diseminasi Praktik Baik Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan.
Di samping itu, Ditjen PSKL memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok perempuan karena mempunyai potensi yang cukup besar dalam mengembangkan usaha-usaha Perhutsos.
“Tidak hanya di hulu, atau pergi ke ladang misalnya. Tetapi juga dalam proses hilir, perempuan lebih banyak berperan. Misalnya, mengolah hasil-hasil, kemudian melakukan packaging itu bagian perempuan. Kemudian juga bagaimana mereka memasarkan cukup lumayan, perempuan lebih aktif, lebih speak up,” imbuhnya.
Dalam acara yang bertajuk Perhutanan Sosial yang Responsif Gender tersebut, Erna mengakui terdapat beberapa kelemahan dalam hal pendataan, bahwa pengelolaan data yang diperoleh dari proses monitoring dan evaluasi sebagian besar masih belum dilakukan secara terpilah antara laki-laki dan perempuan.
“Kalau dari data terpilah, memang kita masih sangat kecil. Karena pendataan terpilah ini baru dilakukan kalau tidak salah tahun 2019. Kita baru mulai mendata laki-laki dan perempuan saat verifikasi di lapangan sehingga masuk di dalam SK dari pemberian akses legal itu baru 2019, hingga sekarang ini baru mencapai 13 persen,” terang Erna.
Tetapi dalam hal pendampingan, Ditjen PSKL mengatakan sudah mendata sebanyak 22 persen. Sementara untuk fasilitator atau pegawai pemerintah maupun pemerintah daerah, Erna mengatakan hampir mencapai 40 persen perempuan.
“Jadi yang melakukan pelayanan hampir lebih banyak perempuan. Ini masalah pendataan saja menurut saya. Karena faktanya keterlibatan perempuan dalam Perhutsos ini, di lapangannya, jauh lebih besar,” tegas Erna dengan menekankan pihaknya akan melakukan verifikasi data ulang.
Dalam kesempatan itu, Erna juga menegaskan bahwa berdasarkan asesmen yang dilakukan oleh KLHK, Perhutsos banyak memberikan manfaat nyata pada masyarakat, baik dalam hal ekologi, sosial, maupun ekonomi.
“Kalau dari aspek sosial, saya kira ini pasti meningkat karena tingkat kerukunan warga, dengan adanya perhutanan sosial, ada keguyuban yang kemudian meningkat juga di tingkat warga, itu juga meningkat. Jadi konflik bisa diredam dengan adanya perhutanan sosial,” kata Erna. [SA]