Infonegeri, BANDA ACEH – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Hendra Budian menyebutkan Peralihan kontrak kerjasama dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) berjalan lambat.
Hal tersebut berdasarkan UU. No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan PP No.23/2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam Migas di Aceh telah memerintahkan bahwa kontrak kerjasama di Aceh harus beralih kontrak kerjasamanya dari SKK Migas ke BPMA.
“Namun hingga saat ini kami belum mendengar adanya kemajuan dari proses tersebut untuk lapangan-lapangan Pertamina EP yang ada di Tamiang,” ujar Hendra Budian dalam keterangan pers tertulis, Minggu (14/8/2022) di Banda Aceh.
Menurut Hendra, seharusnya peralihan tersebut tidaklah terlalu rumit jika para pihak mau menyelesaikan dengan cepat. Hendra mengatakan bahwa semua tata cara sudah diatur dalam PP No 23/2015 tersebut.
“Informasi yang kami dapatkan bahwa progres alih kelola berjalan sangat lambat sejak BPMA mulai dibentuk. Kami tidak paham ada kendala dimana, karena DPRA tidak pernah mendapatkan update secara langsung,” ungkap Hendra.
“Kami juga akan segera memanggil BPMA dan SKK Migas karena seharusnya kedua lembaga ini harus bekerja secara professional. Sebab jika sudah terlalu lama prosesnya, berarti mereka tidak bekerja secara professional ini. Tapi setahu saya justru selama ini BPMA terus melakukan upaya-upaya agar kontrak kerjasama di Blok Rantau tersebut disesuaikan dengan PP No 23/2015,” ujar Hendra menambahkan.
Namun, kata Hendra, jika kendalanya ada di Pertamina EP, dirinya mengingatkan Pertamina agar jangan main-main dengan kewenangan Aceh yang sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat. Menurutnya, jika Pertamina EP tidak mau bekerjasama dengan baik, maka lebih baik serahkan pengelolaan lapangan tersebut kepada PEMA.
“PT. Pema sampai saat ini berhasil menaikkan produksi dan lifting migas pada Wilayah Kerja “B” yang dulu dikuasai Pertamina. Justru setelah Wilayah Kerja “B” ini lepas dari Pertamina,” ujar Hendra Budian.
Hendra mengatakan, PT PEMA bahkan bisa bekerja jauh lebih efisien dan menghasilkan dua keuntungan bagi Aceh, pertama berupa keuntungan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Dana Bagi Hasil (DBH) dan TDBH dimana Aceh mendapatkan bagi hasil 70 persen dari bagian negara.
“Keuntungan kedua Aceh mendapatkan bagi deviden dari keuntungan perusahaan daerah yang langsung masuk sebagai Pendapatan Asli Aceh (PAD),” ujar Hendra Budian.
Lebih lanjut menurut Hendra, dirinya baru dapat laporan bahwa selama ini Aceh tidak mendapatkan DBH/TDBH dari Pertamina EP yang beroperasi di Tamiang dan baru tahun 2021 ini Aceh mendapatkan DBH/TDBH sekitar Rp 54 Miliar.
“Ini tidak masuk akal logika saya, hitungannya dari mana kita tidak tahu, mengapa dulu tidak dapat? Apakah selama ini Pemerintah Aceh tidak diberikan juga hitungannya? Seharusnya Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA) punya data historis DBH Aceh dan mengapa DBH dari lapangan-lapangan minyak di Rantau tidak ada,” ujar Hendra Budian.
“Padahal seharusnya DBH/TDBH tersebut sudah mengalir sejak UUPA ditetapkan pada 2006. Seharusnya BPMA juga punya hitung – hitungannya, atau selama ini BPMA juga tidak mendapatkan akses karena pengelolaannya masih di bawah SKK Migas,” ujar Hendra.
Menurut Hendra, kalau info tersebut benar, maka dirinya akan mendorong PT. PEMA untuk mengambil alih lapangan-lapangan di Rantau dari pada tetap dikelola Pertamina tetapi tidak memberikan manfaat buat Aceh.
“PT. PEMA harus bekerja lebih keras lagi, karena di sana potensi keuntungannya sepertinya jauh lebih besar buat Aceh. Bayangkan saja 1 tahun PT. PEMA mengelola sisa – sisa lapangan Arun dapat membukukan deviden Rp 21 Miliar. Apalagi, kata Hendra, jika tahun ini PT. PEMA mendapatkan peluang untuk mengelola lapangan-lapangan di Rantau, Tamiang.
“Kami akan dorong prosesnya ke arah sana, demi kepentingan Aceh yang lebih besar yang sudah diamanatkan oleh UUPA,” pungkas Hendra Budian.
Editor: Soprian Ardianto