Jika Ekspor Pasir Laut Terjadi di Provinsi Bengkulu

Caption foto: TWA Pantaai Panjang Kota Bengkulu (Foto/dok: SA)
Caption foto: TWA Pantaai Panjang Kota Bengkulu (Foto/dok: SA)

Infonegeri, BENGKULU – Isu penambangan pasir kembali mengemuka setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut pada akhir Mei lalu dengan alasan banyaknya permintaan reklamasi di dalam negeri termasuk untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Regulasi ini kembali membuka keran ekspor pasir laut dari Indonesia dan tidak menutup kemungkinan penabangan pasir akan terjadi di Provinsi Bengkulu. Seperti di Kota Bengkulu yang memiliki titik strategis penambangan pasir akan terjadi dimana sepanjang Kota Bengkulu membentang lautan seluas 387,6 km2.

Secara geografis Provinsi Bengkulu sebagai salah satu wilayah kemaritiman yang mempunyai wilayah pesisir dengan luas perairan (laut) mencapai kurang lebih 12.335,2 km² dan panjang garis pantai mencapai kurang lebih 525 km serta yang sebagian besar wilayahnya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Dengan potensi luas perairan (laut) mencapai kurang lebih 12.335,2 km² dan panjang garis pantai mencapai kurang lebih 525 km, dengan adanya regulasi dari Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, besar kemungkinan penambangan pasir bisa saja terjadi yang akan berdampak negatif.

Ancam Ekosistem Mangrove untuk Mitigasi Bencana

Jika ekspor pasir laut terjadi di Bengkulu, kawasan sepanjang pesisir barat Bengkulu merupakan daerah paling rawan saat ini, karena daerah ini paling dekat dengan segmen Mentawai yang sangat aktif kegempaannya. Menurut para ahli gempa dan tsunami serta geologi, segmen Mentawai berada pada periode waktu perulangan sekitar 175 tahunan.

Daerah ini pernah dilanda tsunami besar pada tahun 1833 dan akhir-akhir ini aktivitas gempa juga meningkat tajam di Bengkulu. Masalah lain konsentrasi pemukiman penduduk banyak di sepanjang kawasan pantai, karena mata pencaharian mereka kebanyakan sebagai petani dan nelayan, kebayang jika ekspor pasir laut terjadi di Bengkulu.

Kondisi ini diperparah dengan fenomena Perubahan Iklim yang mempengaruhi itensitas gelombang laut akibat adanya siklon tropis. Walaupun siklon tropis tidak terjadi di wilayah ekuator, namun siklon tropis diyakini dapat memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung kepada Indonesia maupun Provinsi Bengkulu khususnya.

Salah satu upaya dalam mitigasi bencana di pesisir pantai Provinsi Bengkulu dapat dilakukan dengan melakukan Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Perlindungan berupa Kawasan Sempadan Pantai. Penanaman mangrove sebaiknya dilakukan Sempadan Pantai Kritis, dimana dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 35/Menhut-II/2010.

Mangrove dapat menjadi alternative mitigasi bencana di pesisir Provinsi Bengkulu. Rehabilitasi mangrove selain untuk mempertahankan ekosistem di pesisir pantai juga merupakan salah satu upaya dalam meminimalisir dampak bencana tsunami, banjir dan abrasi yang telah dipraktekan di beberapa daerah.

Kemampuan mangrove dalam mitigasi bencana disebabkan struktur vegetasi mangrove yang dapat beradaptasi dan tumbuh pada habitat ekstrim. Adaptasi terjadi pada struktur daun dan perakaran sehingga mangrove mampu berperan dalam mitigasi berbagai bencana di wilayah pesisir pantai.

Penelitian Penambang Pasir

Seperti baru-baru menurut Environmental Reporting Collective (ERC) jaringan global jurnalis yang mendedikasikan kerjanya untuk menyelidiki kejahatan lingkungan, meluncurkan kolaborasi terbarunya berjudul Beneath the Sands; sebuah laporan investigasi tentang dampak penambangan pasir pada lingkungan dan komunitas, terutama perempuan dan anak di seluruh dunia.

Redaktur Pelaksana ERC Febriana Firdaus mengungkapkan isu penambangan pasir ini kembali mengemuka setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut pada akhir Mei lalu. Regulasi ini membuka kembali keran ekspor pasir laut dari Indonesia yang sebelumnya dilarang sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri.

“Laporan ERC yang digarap selama setahun terakhir mengungkap dampak negatif penambangan pasir di 12 negara; dari Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, China, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka, hingga Kenya.” kata Febriana dalam keterangan tertulisnya, Jumat (02/06/2023).

Pertama, tim ERC menemukan bahwa penambangan pasir yang masif, selain telah menyebabkan pulau-pulau kecil di Indonesia hilang, juga merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan Cina.

Di Indonesia, Majalah Tempo menemukan bagaimana penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, memperparah kerusakan ekosistem pesisir serta abrasi di sana.

Di Taiwan, aktivitas ilegal kapal pengeruk pasir laut asal China dituding bertanggung jawab atas rusaknya daerah penangkapan ikan di Pulau Penghu, yang mengakibatkan tangkapan ikan nelayan setempat menurun drastis hingga hampir 90 persen. Biro Pertanian dan Perikanan wilayah Penghu mengungkap bahwa tangkapan ikan di sana turun dari 346 metrik ton di 2018 menjadi hanya 160 metrik ton di 2021.

Di China, kebijakan pemerintah yang melarang nelayan beroperasi di Danau Poyang demi mengambil alih tambang pasir di sana, telah menyebabkan kerusakan daerah penangkapan ikan dan habitatnya, yang sangat serius.

Di Filipina, aktivitas ilegal penambang pasir laut telah merusak pesisir di Ilocos Sur. Penambangan pasir laut juga berdampak pada menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan setempat.

“Kedua, tim ERC menemukan bahwa penambangan pasir di seluruh dunia melibatkan jaringan mafia yang mengelola bisnis bernilai miliaran dolar.” sebutnya.

Mafia tambang pasir ini disebut-sebut terlibat dalam aktivitas yang mengancam keselamatan jurnalis, pegiat lingkungan, dan masyarakat sipil. Beberapa dari mereka dipenjara, bahkan kehilangan nyawa. Kami menemukan banyak kasus kriminal yang terkait aktor penambang pasir ini di Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam, sampai India.

Di Bihar, India, misalnya, mafia tambang pasir umumnya berasal dari kasta yang lebih tinggi. Mereka dengan paksa merampas tanah pertanian dari kasta yang lebih rendah. Aksi mereka terkadang melibatkan kontak senjata antara kelompok mafia yang berbeda. Kami mewawancarai warga sipil yang menjadi korban kekejaman mafia tambang pasir di wilayah tersebut.

“Ketiga, tim ERC menginvestigasi bagaimana penambangan pasir berdampak pada kelompok rentan, seperti perempuan. Kami mewawancarai perempuan-perempuan dari Kenya, Indonesia, Kamboja, dan India. Penambangan pasir bukan hanya merusak rumah mereka, tapi juga lahan pertanian mereka dan mengancam ketahanan pangan.” bebernya.

Di Indonesia, kami mewawancarai sekelompok ibu yang melawan perusahaan penambangan pasir di Pasar Seluma, Provinsi Bengkulu, dengan protes damai dan simbolik. Di sana, penambangan pasir laut oleh PT Flaminglevto Baktiabadi dituding mengancam ekosistem remis-kerang laut yang merupakan sumber pendapatan dan protein bagi masyarakat adat Serawai.

“Dari semua hasil investigasi kami itu, ada indikasi kuat bahwa penambangan pasir berdampak buruk pada lingkungan dan komunitas. Apalagi tidak ada aturan atau badan global yang memonitor eksploitasi pasir, yang merupakan sumber daya kedua terbanyak yang digunakan setelah air.” paparnya.

Kami berharap temuan ini bisa menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan di tingkat regional, nasional, dan global untuk membuat peraturan yang melindungi lingkungan dan kelompok rentan dari penambangan pasir yang merusak.

Kolaborasi global ini terwujud berkat dukungan donor dan mitra, termasuk: Center for Investigative Reporting Sri Lanka (Sri Lanka), Kontinentalist (Singapura), Mekong Eye (Kamboja, Vietnam, Thailand), The Initium (China), Science Africa (Kenya), Tempo (Indonesia), The Reporter (Taiwan), NBC News (USA), The Philippine Center for Investigative Journalists (Filipina), dan Ukaalo (Nepal).

Diketahui Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono telah buka-bukaan soal kebijakan Jokowi mengizinkan ekspor pasir laut lagi. Menurutnya penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dikarenakan banyaknya permintaan reklamasi di dalam negeri termasuk untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Reporter | Soprian Ardianto