Pemenuhan Hak Perempuan Korban Terorisme Belum Maksimal

Caption foto: Dua perempuan melintas di depan aparat keamanan di Poso. Kaum perempuan rentan menjadi korban langsung serangan teroris karena berada di lokasi ketika serangan terjadi (Foto ilustrasi: Yoanes Litha/VOA Indonesia)
Caption foto: Dua perempuan melintas di depan aparat keamanan di Poso. Kaum perempuan rentan menjadi korban langsung serangan teroris karena berada di lokasi ketika serangan terjadi (Foto ilustrasi: Yoanes Litha/VOA Indonesia)

Infonegeri, JAKARTA – Sepanjang bulan Maret hingga November 2023, Komnas Perempuan melakukan pemetaan di berbagai wilayah untuk melihat dampak serangan teroris terhadap korban perempuan yang selamat.

Surabaya, Bali, Poso dan Jakarta adalah beberapa daerah di mana pemetaan dilakukan. Proses ini melibatkan wawancara dengan 45 penyintas serangan teroris, yang terdiri dari 10 laki-laki dan 35 perempuan.

Komisioner Komnas Perempuan Nahe’i, Selasa (25/6) mengatakan lembaganya mencatat ada 57 serangan teroris sepanjang tahun 2000 hingga 2022 yang tersebar di 33 kota/kabupaten di Indonesia, termasuk Jakarta, Batam, Pekanbaru, Sukabumi, Bali dan Ambon.

Banyak perempuan, ujarnya, yang menjadi korban langsung serangan teroris karena mereka berada di lokasi ketika serangan terjadi. Ada yang bekerja di tempat itu, sedang beribadah, atau bahkan menjadi relawan kegiatan tertentu. Selain itu, ada juga perempuan yang terdampak tidak langsung karena dia merupakan istri, anak, atau ibu dari korban serangan.

Ada korban yang meninggal, menderita luka bakar 70-80 persen, mata menjadi rabun, gendang telinga pecah, cedera akibat pecahan beling, kaca, dan luka akibat logam dan besi.

Cedera fisik itu bisa mengakibatkan korban menjadi disabilitas permanen (tidak bisa berjalan, tuli, bekas luka tidak hilang), serta gangguan kesehatan reproduksi. Dia mencontohkan dua perempuan yang menderita cedera akibat serpihan bom yang masuk ke dalam payudaranya. Salah seorang korban ini bahkan baru bisa dioperasi untuk mengangkat serpihan bom itu setelah ia berusia 18 tahun.

“Secara psikis, (perempuan menjadi korban serangan teroris) ada yang mengalami trauma berkepanjangan dan gangguan-gangguan reproduksi. Misalnya ketika dia mengalami peristiwa itu, haidnya berhenti lebih awal. Padahal dia seharusnya belum menopause,” katanya.

Hampir seluruh korban kehilangan mata pencarian atau pekerjaa, dan properti. Ditambah dengan menumpuknya uang untuk upacara pemakaman dan memenuhi kebutuhan keluarga setelah kehilangan pekerjaan.

Sedangkan dampak sosialnya adalah diminta untuk bercerai, dianggap beban keluarga, bertahan tidak menikah, tetap setia mendampingi pasangan dan hubungan keluarga menjadi tegang. Nahe’i menambahkan dampak kohesi sosial akibat serangan terorisme adalah rasa takut pada agama tertentu dan simbol-simbolnya, ketakutan dan kebencian terhadap kelompok tertentu, serta benci melihat orang bercadar pasca Bom Bali dan Surabaya.

Menurutnya, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, telah menjamin hak-hak korban, termasuk dari tindakan teroris, antara lain memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan hartanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan.

Di samping itu, korban serangan teroris berhak merahasiakan identitasnya, mendapat tempat kediaman sementara, dan memperoleh bantuan biaya hidup sampai batas waktu perlindungan berakhir. Korban juga berhak mendapat pendampingan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis, memperoleh restitusi, serta santuanan bagi keluarga korban meninggal dan kompensasi.

Dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme disebutkan korban serangan teroris berhak mendapatkan bantuan medis, rehabililitasi psikososial dan psikologis, santunan bagi keluarga korban meninggal, kompensasi, dan restitusi.

Namun dalam pemetaan itu, Komnas Perempuan menemukan sejumlah hambatan dalam penangan korban, yakni ketidaksiagaan dalam layanan darurat medis terhadap krban, kayanan medis yang parsial dan tidak berkelanjutan, penanganan yang tidak empati dan tidak sesuai kebutuhan korban, penggunaan kekerasan terhadap koorban, pemulihan terbatas dan tidak berlanjut, serta bantuan dana dan kompensasi yang tidak diiringi penjelasan dan tidak merata.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy menilai perlunya daerah memiliki basis data para korban terorisme untuk memudahkan pemenuhan hak korban dan keluarganya.

Menurut Olivia, lembaganya menemukan ketidaksinergian koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berdampak pada akses layanan terhadap para penyintas mengalami hambatan karena isu terorisme dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah pusat sehingga kondisi korban menjadi terabaikan pada aspek-aspek kehidupan yang dapat mendukung pemulihan.

Selain itu, ungkapnya, layanan kedaruratan medis untuk para korban bunuh diri juga sering menghadapi hambatan birokrasi administratif sehingga terdapat penundaan pada kedaruratan keselamatan nyawa dan kesehatan para korban. Layanan pemulihan fisik yang terbatas juga masih menjadi kendala.

Anggota dewan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Yuniyanti Chuzaifah mengatakan sebelum isu ekstremisme menguat, Komnas Perempuan mulai tahun 2008 telah mendokumentasikan kebijakan diskriminatif di sejumlah daerah di mana menjadi cikal bakal dari munculnya ekstremisme.

Dia menambahkan masyarakat sipil juga berkontribusi dalam penanggulangan isu ekstremisme di Indonesia. Dia mencontohkan akademisi dari sejumlah perguruan tinggi membuat kurikulum bernama Smiling Islam (Islam Ramah). Selain itu, Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) terus memberikan pendampingan terhadap korban aksi terorisme untuk mendapatkan haknya. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan ekstremisme bukan bagian dari agama.

Pernyataan sikap yang segera dibuat gerakan perempuan menyikapi aksi terorisme telah ikut mendesak negara dan membuka mata publik, terutama di lingkungan militer, pendidikan, dan pemerintahan.

Menurutnya, gerakan perempuan juga menggali kedalaman akar persoalan gender, radikalisme, dan pola ideologisasi.

“Kenapa sih kok ada perempuan yang mau ikut-ikutan mengebom? ikutan bunuh diri membawa seluruh keluarganya? Rupanya perempuan ini pingin jangan sampai dia meninggal, anaknya tidak ikut ke surga. Jadi peran ibu juga berlaku tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat,” ujarnya.

Gerakan perempuan, tambahnya, juga mendorong moderasi beragama di lembaga pendidikan serta menjaga kewarasan publi untuk perdamaian dan moderasi beragama, mencari potensi dan upaya membangun kesadaran baru di lingkaran kelompok radikal.

Sumber | VOA Indonesia