Perubahan Nama Simpang Lima Ratu Samban Upaya Penghapusan Sejarah Identitas Rejang

Caption foto: Simpang 5 Ratu Samban Kota Bengkulu yang di ganti menjadi Bundaran Fatmawati oleh Pemerintah Kota Bengkulu (Foto/dok: Infonegeri)
Caption foto: Simpang 5 Ratu Samban Kota Bengkulu yang di ganti menjadi Bundaran Fatmawati oleh Pemerintah Kota Bengkulu (Foto/dok: Infonegeri)

Infonegeri, BENGKULU – Kontroversi perubahan nama Simpang Lima Ratu Samban menjadi Bundaran Fatmawati mendapat perhatian serius dari pemerhati Sejarah Bengkulu, yang dinilai berpotensi merusak warisan budaya dan sejarah lokal.

Disampaikan Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu, Benny Hakim Benardie, langkah ini menunjukkan kurangnya pemahaman dan apresiasi terhadap sejarah lokal oleh pemerintah, yang telah menjadi bagian penting dari identitas masyarakat Rejang.

“Marjati bergelar Ratu Samban merupakan sosok Pesirah ke 4 wilayah lais yang getol menentang penindasan rakyat Bengkulu. Kepahlawanannya jelas, hanya saja tidak ada niat pemerintah mengusulkannya menjadi pahlawan nasional.” kata Benny, Rabu (14/08/2024).

Benny membeberkan, pemberontakan yang dilakukan Ratu Samban bersamaan dengan Burniat, yang menyerang gedung keresidenan Bengkulu pada 11 Mei 1873. Burniat adalah pemberontak, tetapi di mata rakyat Bengkulu ia adalah pahlawan.

BACA JUGA: 14 Simpang di Kota Bengkulu Berganti Nama, Berikut Daftarnya

“Ratu Samban Sosok putra daerah dari Rejang yang getol menentang kolonial Belanda hingga akhir hayatnya, yang dimakamkan di Pulo Bintunan Lais Bengkulu Utara, sezaman dengan Burniat yang memberontak di wilayah Tanjung Terdana.” terangnya.

“Ratu Samban bukan sekadar nama, tetapi simbol perjuangan rakyat Rejang melawan penjajahan. Mengganti nama ini tanpa mempertimbangkan sejarah di baliknya bisa dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap identitas lokal,” tambahnya.

Dijelaskan Benny, Ratu Samban, merupakan seorang tokoh lokal yang dikenang karena keberaniannya, berperan penting dalam pembantaian tiga perwira Belanda yang dianggap sewenang-wenang dalam memungut pajak 30 gulden dari masyarakat pribumi. Peristiwa ini menjadi simbol perlawanan rakyat Rejang.

“Merubah nama simpang Lima Ratu Samban menjadi Bundaran Fatmawati menyinggung rakyat rejang dan upaya menghapus tokoh lokal yang berjasa dalam pembantaian tiga perwira Belanda yang memungut pajak 30 golden ke pribumi,” ucap Benny.

Benny, kembali selalu menegaskan bahwa setiap keputusan yang melibatkan perubahan nama tempat bersejarah harus dilakukan dengan pertimbangan matang, melibatkan masyarakat setempat, dan mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang ada.

“Pemerintah harus lebih peka terhadap sensitivitas budaya dan sejarah. Tidak ada yang salah dengan menghormati tokoh nasional seperti Fatmawati, tetapi jangan sampai itu dilakukan dengan mengorbankan tokoh lokal yang juga memiliki peran penting dalam sejarah,” terangnya.

Jurnalis di Kota Bengkulu ini juga menyampaikan keprihatinannya bahwa perubahan nama ini dapat berdampak negatif pada upaya pelestarian sejarah lokal, dan dengan perubahan nama tersebut dengan tidak mempertimbangkan budaya lokal akan menimbulkan dampak jangka panjang.

“Sejarah dan budaya lokal adalah aset yang harus dijaga dan dilestarikan. Mengganti nama Ratu Samban dengan nama lain seolah-olah menghapus bagian penting dari sejarah masyarakat Rejang. Ini bisa menimbulkan dampak jangka panjang, terutama dalam hal pelestarian warisan budaya,” tegas Benny.

Ia juga menyoroti pentingnya dialog antara pemerintah dan masyarakat “Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan ini. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru memicu ketegangan sosial dan merusak keharmonisan yang sudah ada,” demikian kata Benny.

Pewarta | Soprian Ardianto