Oleh : Dodi Faisal, Kadep Kelembagaan dan PME WALHI Bengkulu
Infonegeri, LINGKUNGAN – Seluas 164 hektar hutan mangrove di Provinsi Bengkulu dalam kondisi rusak. Sedangkan dalam kondisi baik terdata 2.274,9 hektar dan kondisi sedang sebanyak 166,05 hektar dari total kawasan hutan mangrove yang mencapai 2.604,95 hektar. Kondisi kawasan mangrove ini kemudian berpengaruh besar dalam peran penting mangrove sebagai penjaga keseimbangan antara ekosistem darat dan perairan di wilayah pesisir Provinsi Bengkulu.
Melihat permasalahan tersebut, sudah seharusnya pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas sebagai upaya konservasi dan kepastian rencana zonasi hutan mangrove, rehabilitasi kawasan mangrove dan edukasi kepada kelompok masyarakat untuk penguatan pengembangan matapencaharian alternative disekitar kawasan mangrove.
Secara geografis Provinsi Bengkulu memiliki hutan pantai dan hutan mangrove yang luasannya mulai menyusut akibat aktifitas pembangunan yang tidak berorientasi pada perlindungan kawasan. Provinsi Bengkulu menjadi bagian dari sebaran ekosistem mangrove Indonesia yang tersebar di wilayah pesisir terutama Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu.
Secara geografis Provinsi Bengkulu sebagai salah satu wilayah kemaritiman yang mempunyai wilayah pesisir dengan luas perairan (laut) mencapai kurang lebih 12.335,2 km² dan panjang garis pantai mencapai kurang lebih 525 km serta yang sebagian besar wilayahnya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
Program rehabilitasi mangrove nasional dengan target 620 ribu hektar sampai tahun 2024 yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir sekaligus mendorong peningkatan ekonomi masyarakat sebenarnya dapat menjadi momentum untuk memperbaiki ekosistem mangrove.
Untuk tahun 2021 ditargetkan seluas 124 ribu hektar yang akan dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove BRGM) bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK) dan Kementrian Kelautan dan Perikanan KKP).
Sementara Provinsi Bengkulu pada bulan November tahun 2020, telah melakukan penanaman mangrove seluas 50 hektar yang antara lain di Taman Wisata Alam Pantai Panjang seluas 9 hektar, Kelurahan Padang Serai 2 hektar, Kelurahan Beringin Raya 5 hektar dan Desa Tawang Rejo Kecamatan Air Periukan Kabupaten Seluma seluas 34 hektar. Padat karya penanaman mangrove ini merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di 34 Provinsi dengan total penanaman 15 ribu hektar.
Mangrove untuk Mitigasi Bencana
Kawasan sepanjang pesisir barat Bengkulu merupakan daerah paling rawan saat ini, karena daerah ini paling dekat dengan segmen Mentawai yang sangat aktif kegempaannya. Menurut para ahli gempa dan tsunami serta geologi, segmen Mentawai berada pada periode waktu perulangan sekitar 175 tahunan . Daerah ini pernah dilanda tsunami besar pada tahun 1833 dan akhir-akhir ini aktivitas gempa meningkat tajam di daerah ini. Masalah lain konsentrasi pemukiman penduduk banyak di sepanjang kawasan pantai, karena matapencaharian mereka kebanyakan sebagai petani dan nelayan[1].
Kondisi ini diperparah dengan fenomena Perubahan Iklim yang mempengaruhi itensitas gelombang laut akibat adanya siklon tropis.Walaupun siklon tropis tidak terjadi di wilayah ekuator, namun siklon tropis diyakini dapat memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung kepada Indonesia maupun Provinsi Bengkulu khususnya. Hal ini juga diperkuat oleh BMKG ( Badan Meteorologi dan Geofisika) dalam laporannya tentang Tern Iklim 2020 dan Perubahan Iklim yang menyimpulkan munculnya gangguan intra-musiman seperti MJO dan siklon tropis yang dapat meningkatkan atau mengurangi jumlah curah hujan dasarian[2].
Salah satu upaya dalam mitigasi bencana di pesisir pantai Provinsi Bengkulu dapat dilakukan dengan melakukan Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Perlindungan berupa Kawasan Sempadan Pantai. Penanaman mangrove sebaiknya dilakukan Sempadan Pantai Kritis, dimana dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 35/Menhut-II/2010 menyebutkan Sempadan Pantai Kritis adalah kawasan pantai tertentu yang kondisinya tidak bervegetasi atau kerapatan vegetasi jarang, dan terjadi abrasi berat atau berpotensi terjadinya abrasi/erosi pantai. Garis sempadan pantai juga merupakan bagian dari kawasan perlindungan setempat selain kawasan sekitar danau / waduk, dan kawasan sekitar mata air sesuai dengan Pasal 5 Ayat (2) huruf b Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penetapan Batas Sempadan Pantai dengan mempertimbangkan resiko bencana dan pengendalian pemanfaatan ruang di sempadan pantai seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai dan Undang-undang 27 th 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Pasal 1 angka 21 dan Pasal 56 Ayat 1 yang menjelaskan Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Kemudian Undang-undang 27 th 2007 dalam Pasal 3 menyebutkan(1) Pemerintah Daerah menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain.(2) Penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan : a. Perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; b. Perlindungan pantai dari erosi atau abrasi; c. Perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; d. Perlindungan terhadap ekosistem pesisir seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta; e. Pengaturan akses publik; serta f. Pengaturan untuk saluran air dan limbah [3].
Mangrove dapat menjadi alternative mitigasi bencana di pesisir Provinsi Bengkulu. Rehabilitasi mangrove selain untuk mempertahankan ekosistem di pesisir pantai juga merupakan salah satu upaya dalam meminimalisir dampak bencana tsunami, banjir dan abrasi yang telah dipraktekan di beberapa daerah. Kemampuan mangrove dalam mitigasi bencana disebabkan struktur vegetasi mangrove yang dapat beradaptasi dan tumbuh pada habitat ekstrim. Adaptasi terjadi pda struktur daun dan perakaran sehingga mangrove mampu berperan dalam mitigasi berbagai bencana di wilayah pesisir pantai.
Mangrove dan potensi Blue Carbon
Blue Carbon ( karbon biru ) di Indonesia mempunyai peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dunia dengan menyimpan hingga 17 % cadangan blue carbon dunia.
Blue carbon merupakan karbon yang diserap oleh ekosistem mangrove,padang lamun, rawa payau dan phytoplanton. Besarnya potensi blue karbon indonesia kemudian diusulkan untuk mengurangi emisi karbon dalam konferensi dunia untuk perubahan iklim.
Ekosistem mangrove di Provinsi Bengkulu mempunyai potensi blue carbon yang dapat menjadi bagian dari upaya adaptasi dan mitigasi Perubahan Iklim. Dari beberapa hasil penelitian terkait potensi blue carbon di Provinsi Bengkulu, penyerapan karbon potensial terdapat di Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Utara terutama di Pulau Enggano.
Potensi Karbon di Ekosistem Mangrove di Provinsi Bengkulu
Potensi blue carbon di kawasan mangrove di Provinsi Bengkulu ini kemungkinan akan berkurang atau hilang apabila kerusakan mangrove tidak segera dibenahi. Berdasarkan analisis WALHI Bengkulu, kerusakan mangrove di Kota Bengkulu dan Kabupaten Seluma masing – masing mencapai 60 ribu hektar, sedangkan kawasan hutan mangrove di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara masih terjaga dengan baik.
Kerusakan akibat deforestasi mangrove akan mengakibatkan pelepasan karbon ke udara dan mengurangi daya serap ekosistem mangrove terhadap karbon. Dan begitu juga sebaliknya potensi blue carbon akan semakin besar apabila ekosistem mangrove dijaga dengan baik dan akan menyerap karbon secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian dapat disimpulkan memulihkan mangrove merupakan juga upaya dalam adaptasi dan mitigasi Perubahan Iklim.
Mangrove untuk Keberlanjutan Hidup
Keberadaan mangrove untuk mempertahankan wilayah pesisir dari bencana terbukti efektif di beberapa daerah di Indonesia. Saat tsunami menerjang Aceh tahun 2004, Simeulue merupakan salah satu daerah dengan korban paling kecil karena ekosistem mangrovenya yang lebat mampu meredam energi ombak tsunami. Selain karena terawatnya kearifan lokal dalam menghadapi smong (tsunami). Kisah yang sama terjadi di Kabonga Besar, Donggala, ketika tsunami menghempas Teluk Palu tahun 2018 lalu. Korban tsunami relatif kecil dibandingkan daerah-daerah lain di Teluk Palu. Ini karena warga desa merawat mangrove dengan tekun selama bertahun-tahun dengan formasi benteng pantai[4].
Hal ini tidak lepas dari adanya keseimbangan antara kawasan lindung dan kawasan budidaya merupakan faktor penting dalam Rencana Tata Ruang Berbasis Bencana. Penataan ruang harus memperhatikan aspek kebencanaan sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan penghidupan sesuai amanat Undang – undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Ketidakseimbangan kawasan lindung dan kawasan budidaya dalam rencana tata ruang daerah akhirnya akan berdampak pada kerentanan desa – desa di pesisir dari bencana.
Desa Pondok Kelapa, misalnya, desa di Kabupaten Bengkulu Tengah diperkirakan akan hilang dalam 30 tahun kedepan akibat terjadinya abrasi pantai dan sendimentasi dimuara DAS (Daerah Aliran Sungai) Lemau. Berdasarkan analisa Citra Satelit yang dilakukan WALHI Bengkulu, laju abrasi dan sendimentasi di pesisir desa Pondok Kelapa mencapai ± 30 meter dari 2011 sd 2021, hal ini diperkuat pernyataan masyarakat dan Kades Pondok Kelapa yang juga menyatakan abrasi dan sendimentasi telah mencapai 1 Km selama 30 tahun terakhir. Abrasi dan sendimentasi terparah terjadi terutama wilayah di Dusun Pondok Kelapa 1 dan Dusun Pondok Kelapa 2 sehingga mengancam ruang hidup masyarakat yang telah bermukim secara turun temurun.
Selain mengalami abrasi, sendimentasi pantai dan banjir yang berasal dari luapan DAS ( Daerah Aliran Sungai ) Lemau, wilayah pesisir Desa Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Tengah merupakan wilayah zona bencana Tsunami [5] dan juga tercatat dalam zona merah nasional bencana[6]. Desa Pondok Kelapa juga merupakan salah satu desa yang mengalami dampak Banjir dan Longsor besar pada 26 April 2019 yang mengakibatkan 27 orang meninggal, rusaknya lahan pertanian dan perkebunan, hancurnya rumah dan infrastruktur dan ribuan warga mengungsi.
Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW ) Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2012 – 2032 dalam Rencana Pola Kawasan Lindung menyatakan bahwa Desa Pondok Kelapa termasuk Kawasan Rawan Bencana Alam. Sedangkan untuk Kawasan Perlindungan berupa Kawasan Sempadan Pantai di alokasikan sepanjang 37,7 kilometer dengan total luas 419 hektar. Namun disisi lain wilayah pesisir Desa Pondok Kelapa juga diperuntukan bagi eksplotasi pertambangan dan kondisi saat ini juga terdapat HGU tambak yang telah beroperasi dengan luas total 70 hektar.
Desa Pondok Kelapa merupakan potret desa yang berada di pesisir barat Provinsi Bengkulu yang sampai saat ini terkesan tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Dimana desa ini dahulunya memiliki habitat mangrove yang berfungsi melindungi ruang hidup masyarakat, namun akibat kebijakan pemerintah daerah yang berorientasi pada kepentingan ekonomi dan politik, desa Pondok Kelapa mengalami permasalahan serius yang mengancam keberlangsungan hidup.
Masalah lain konsentrasi pemukiman penduduk banyak di sepanjang kawasan pantai, karena matapencaharian mereka kebanyakan sebagai petani dan nelayan. Sejumlah desa di pesisir Provinsi Bengkulu yang berdampingan dengan kawasan mangrove akan mengalami nasib serupa apabila mengabaikan kawasan lindung yang sudah seharusnya dilindungi dari aktifitas budidaya.
Pulihkan Mangrove Bengkulu
Berbagai kebijakan terkait mangrove yang menghabiskan begitu banyak anggaran terbukti tidak dapat menyelamatkan kawasan mangrove secara utuh. Penyelamatan mangrove di Indonesia telah dimulai sejak keluarnya kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove ( SNPM ) pada tahun 1997 namun laju kerusakan mangrove dari tahun ke tahun terus saja terjadi. Saat ini luas kawasan mangrove di Indonesia mencapai 3,4 juta hektar dengan kondisi rusak mencapai 1,8 juta hektar, dimana kawasan mangrove yang rusak masuk dalam program rehabilitasi nasional yang dimulai tahun 2021 hingga 2024.
Sementara di Provinsi Bengkulu sendiri dari total 2.604,95 hektar, kawasan mangrove dalam kondisi rusak mencapai 164 hektar. Walaupun Bengkulu tidak menjadi prioritas dalam program rehabilitasi nasional bukan berarti ancaman kerusakan akibat ekploitasi usaha tambak, perkebunan sawit dan pertambangan tidak menjadi perhatian serius.
Hari bumi yang diperingati pada tanggal 22 April, lahir dari adanya permasalahan lingkungan di era tahun 1960 – 1970 yang memunculkan kesadaran publik akan pentingnya menjaga lingkungan untuk bumi. Menjaga mangrove dari kerusakan yang berdampak pada ekosistem dan lingkungan merupakan salah upaya untuk memulihkan bumi. Hari bumi menjadi momen yang tepat untuk kembali menyuarakan kembali pemulihan kawasan mangrove.
Selamat Hari Bumi !!!
[1]Suwarsono, 2013 : Optimalisasi Potensi Lokal Desa Rawan Bahaya Tsunami dalam Rangka Mitigasi Menuju Terwujudnya Desa Siaga Bencana Mandiri di Pesisir Provinsi Bengkulu
[2]http://birosdmkepri.com/mr_dc/wp-content/uploads/2020/02/KEPALA-BMKG-RAPIM-TNI-POLRI-2020-KEPALA-BMKG.pdf
[3]https://desdm.bantenprov.go.id/read/berita/284/PESISIR-BARAT-DAN-DAN-SELATAN-BANTEN-PERLU-PENATAAN-RUANG-BERBASIS-BAHAYA-TSUNAMI.html
[4] https://www.mongabay.co.id/2020/07/26/hari-mangrove-internasional-momentum-moratorium/
[5] https://onemap.esdm.go.id/map.html
[6] Katalog desa / kelurahan rawan tsunami, BNPB, 2019