Infonegeri, INTERNASIONAL – Rakyat Iran pada Jumat (28/6) memberikan suara mereka dalam pemilu yang dipercepat untuk menggantikan mendiang Presiden Ebrahim Raisi, yang tewas dalam kecelakaan helikopter bulan lalu. Pemilu digelar ketika sikap apatis publik semakin meluas di Republik Islam tersebut setelah bertahun-tahun mengalami kesengsaraan ekonomi, protes massal, dan ketegangan di Timur Tengah.
Para pemilih dihadapkan pada pilihan antara kandidat garis keras dan politisi kurang dikenal yang tergabung dalam gerakan reformis Iran yang berupaya mengubah teokrasi Syiah dari dalam. Seperti yang terjadi sejak Revolusi Islam pada 1979, perempuan dan mereka yang menyerukan perubahan radikal dilarang mengikuti pemilu. Dan pemilu itu sendiri tidak diawasi oleh lembaga pemantau yang diakui secara internasional.
Pemungutan suara tersebut dilakukan ketika ketegangan yang lebih luas mencengkeram Timur Tengah terkait perang Israel-Hamas di Jalur Gaza. Pada April, Iran melancarkan serangan langsung pertamanya terhadap Israel sehubungan dengan perang di Gaza, sementara kelompok milisi yang dipersenjatai Teheran di wilayah tersebut – seperti Hizbullah Lebanon dan pemberontak Houthi Yaman – terlibat dalam pertempuran tersebut dan meningkatkan serangan mereka.
Sementara itu, Iran terus melakukan pengayaan uranium pada tingkat yang hampir setara untuk pembuatan senjata dan mempertahankan persediaan yang cukup besar untuk membuat beberapa senjata nuklir, jika Iran memilih untuk melakukannya.
Meskipun Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang berusia 85 tahun mempunyai keputusan akhir mengenai semua urusan negara, presiden dapat mengubah kebijakan negaranya ke arah konfrontasi atau negosiasi dengan Barat.
Namun, mengingat rendahnya jumlah pemilih dalam pemilu baru-baru ini, masih belum jelas berapa banyak warga Iran yang akan ambil bagian dalam pemilu pada Jumat ini.
Menteri Dalam Negeri Ahmad Vahidi, yang bertugas mengawasi pemilu, mengumumkan semua tempat pemungutan suara (TPS) baru dibuka pada pukul 08.00 waktu setempat. Biasanya, Khamenei memberikan salah satu suara pertama dalam pemilu.
Para analis secara luas menggambarkan pemilu ini sebagai kontes tiga pihak. Ada dua kelompok garis keras, mantan perunding nuklir Saeed Jalili dan ketua parlemen, Mohammad Bagher Qalibaf. Lalu ada kandidat reformis Masoud Pezeshkian, yang bersekutu dengan tokoh-tokoh seperti mantan Presiden Hassan Rouhani yang di bawah pemerintahannya, Iran mencapai kesepakatan nuklir penting pada 2015 dengan negara-negara besar. Kesepakatan nuklir akhirnya gagal dan kelompok garis keras kembali memegang kendali.
Jumlah pemilih yang lebih banyak dapat meningkatkan peluang Pezeshkian, seorang ahli bedah jantung berusia 69 tahun yang berupaya kembali ke perjanjian nuklir dan hubungan yang lebih baik dengan Barat. Namun masih belum jelas apakah Pezeshkian dapat memperoleh momentum yang dibutuhkan untuk menarik pemilih untuk ikut serta dalam pemungutan suara. Ada seruan untuk melakukan boikot, termasuk dari peraih Hadiah Nobel Perdamaian yang dipenjara, Narges Mohammadi.
Lebih dari 61 juta warga Iran yang berusia di atas 18 tahun berhak memilih, dan sekitar 18 juta di antaranya berusia antara 18 hingga 30 tahun.
Hukum Iran mengharuskan pemenang mendapat lebih dari 50 persen dari seluruh suara yang diberikan. Jika itu tidak terjadi, dua kandidat teratas akan maju ke putaran kedua seminggu kemudian. Hanya ada satu pemilihan presiden putaran kedua dalam sejarah Iran, yaitu pada 2005, ketika Mahmoud Ahmadinejad dari kelompok garis keras mengalahkan mantan presiden Akbar Hashemi Rafsanjani.
Sumber | VOA Indonesia