Cerpen: Benny Hakim Benardie
Awan kelabu tampak berarak menuju barat. Sang mentaripun sudah mulai bergerak tenggelam di ujung ufuk barat. Senja berbalut mega merona itu masih membuat Mahgdalena masih sadarkan diri, untuk menatap lautan lepas Samudera Hindia yang terbentang luas, seluas mata memandang.
Tatapan tak berujung di tepi Pantai Tapak Paderi, titik nol Negeri Bengkulu menjadi khayal yang tak pernah tahu, di mana ujungnya hamparan air asin dengan ombak menderu menggugah asa itu.
Ingatannya hanya tahu, kalau di ujung dunia itu hanya terdapat Negeri China. Seperti ceritera orang tua saat dirinya masih kecil. Sama dengan gundah gulana pikiran dan perasaannya selama empat tahun terakhir. Masa pengujian kesabaran akan penantian seorang pujaan hati, yang sempat berlabuh dalam melemparkan sauh cinta di hatinya.
Kehidupan Mahgdalena sempat dipayungi oleh pujaan hatinya itu. Hembusan angin sepoi-sepoi terbiasa menggurai rambut di balik jilbab putihnya yang keluar dihembus angin. Hanya angin dan paparan lautan luas yang kerap menemani hari-harinya.
Tapak Paderi, titik nol Negeri Bengkulu yang tersebut dalam peta kuno abad 16 Masehi, memang membuat kenangan indah buat Mahgdalena. Apalagi tempat tinggalnya tidak jauh dari tempat memandang mentari senja, saat akan berangsur meninggalkan siang.
Saat malam mulai menjelang dan terkadang cahaya bulan bertaburnya gemerlap bintang, akan selalu ada cerita khayal lain menggugah asa yang belum tiba. Tetesan air mata mulai membasahi membasahi bantal kapuk tanpa sarung miliknya.
“Ya Tuhan Penguasa Alam dam Maha Penentu, kian lelah hati hamba Mu, saat takdirku belum menjemput. Tolonglah aku yang zhalim ini Tuhan”, sebait doa acap terucap saat malam menjelang.
Saat keesokan harinya, keindahan Tapak paderi yang dibayangi bangunan kuno Fort Malborough. Peninggalan Inggris yang didirikan East India Company (EIC) Tahun 1713-1719 di bawah pimpinan Gubernur Joseph Callet, sebagai benteng pertahanan Inggris kembali menjadi pandangan mata menggugah asa.
Pernah terlintas di benak Mahgdalena, untuk mengubur semua kenangan terkisah ini dalam-dalam kedasar laut. Tapi tak semudah membalikan telapak tangan. Kenangan itu selalu datang bersama cerita indah dalam khayal kesucian bersama ketulusan cinta,
Buku harian dan selembar foto 2×4 selalu ikut sebagai pengingat kenangan. Tiap sisi buku hariannya tertulis nama Aleksi Pernanya. Mungkin ini juga yang membuat kenangan itu selalu ada di ingatannya.
“Sebelumnya, dahulu sebelum kutinggalkan sosok lain yang kupunya, Aku tak begini. Tapi kini kok kayak gini ya”, renung Mahgdalian sesaat usai melihat buku hariannya tinggal tersisa dua lembar lagi yang dapat ditulis.
Kecamuk kenangan tampak kian membawa jiwa wanita cantik berkulit kuning langsat ini berguncang. Dalam catatan terakhirnya tertulis ungkapan dengan beberapa tetesan air mata.
“Sebelunya, semua ini telah aku duga bakal ada perpisahan dan tak akan ada ikatan dalam kesucian cinta. Tapi saat itu aku juga lupa. Aku kira hujan akan berlalu hingga petang, tak tahunya hujan berhenti di tengah hari”.
Teringat janji Aleksi Pernanya, Sang pujaan hati yang tak kunjung datang kembali menghampiri janji yang sempat terucap. Dia akan segera kembali setelah menunaikan kewajiban diri dan akan datang bersama sirih pinang pertanda pinangan.
“Ooooh Tuhaaaan Yang Maha Tahu, jadikanlah rasaku menjadi rasanya juga Tuhan!”, teriak Mahgdalena dari balik bilik kamar yang kini tanpa pendingin ruangan lagi.
Untuk dandan dan kebutuhan sehari-hari, hingga kini masih dilakukan Maghdalena, meskipun dalam kondisi ekonomi yang kian carutmarut. Kebiasaan berada senja di tepi Pantai Tapak Paderi, kini hanya kacang rebus yang mampu dikunyahnya.
Saat menduga dalamnya lautan yang ada di hadapannya, sobekan surat kabar melayang dan nemplok di dadanya. Semula surat kabat itu akan dibuangnya. Tapi itu urung dilakukan Mahgdalena, setelah terpampang foto pujaan hantinya sebelum Aleksi Pernanya singgah dihati.
“Ah ini lagi…”, ucap Maghdalian melihat mantannya kini terpenjara. Tak tampak rasa rindu terhadap Sang mantan, meskipun kebahagian pernah dikecapnya bersama sama dulu.
—
Dari pojok sobekkan surat kabar, tertera tulisan Cikben, seorang penyair yang menulis, “Bila ingin merasakan nikmat dan indahnya cinta, jangan akhiri cinta itu dengan perkawinan. Sesungguhnya cinta itu hanyalah khayal seseorang belaka. Cinta hanya indah untuk dikenang, bukan saat ada ikatan”.
Sempat tertegun Mahgdalena. Tak dihiraukannya beberapa saat akan indah dan luasnya laut Samudera Hindia. Bergegas ia tegak dan beranjak untuk pulang ke rumah, meskipun mentari petang belum meninggalkannya.
“Bu kok cepat pulangnya?” Teriak seorang pria, pedagang jagung bakar yang sudah terbiasa melihat kesendirian Mahgdalena di puncak unggukan tanah Tapak Paderi.
“Iya pak, mau pulang dulu… Lagi nggak enak badan he he he …”, jawabnya sembari gegas berlalu.
“Looo… Hati-hati bu, soalnya jalanan lagi ramai, ada pawai anak-anak pengajian”.
“Ya terimakasih ya…”, jawabnya seperti biasa tampak ramah, sebelum kereta anginnya dikayuh kencang melintasi pinggiran Fort Marlborouhg.
Dalam perjalanan pikiran berkecamuk. Teringat akan kata kata penyair di surat kabar tadi. Akankah kenangan hanya tinggal kenangan tanpa berujung? Mungkinkah apa yang terjadi ini merupakan temuan hidup? Ataukah ini merupakan siksa hidup, karena ada yang salahku dalam hidup!
Kereta anginpun terus dikayuh menyisir pinggiran jalan raya. Tak ada tegur panggil sahabat lamanya yang sempat berpapasan, selain sebuah ungkapan sindiran, “lanjuuut!”.
Ilham bertekad mendadak terbetik datang dalam benak Mahgdalena. Tapak Paderi, titik nol Negeri Bengkulu mestilah ditinggalkan.
“Kalaulah kenangan yang lama bisa aku benamkan dalam Samudera Hindia, kenapa pula kenangan baru tidak kubenamkan juga dalam-dalam…”.
—
Belum habis ilham itu menguraikan tekad, melintas kencang mobil sedan yang dikendarai seorang polisi, menghantam kereta angin yang dikendarainya.
Mahgdalena terpental dan konon ia mengalami gegar otak akut. Kini dalam kesehariannya, hanya deburan ombak dan bukitan Tapak Paderi saja yang di ingatnya tanpa makna.
Bakkata pepatah Melayu Bengkulu lama, “Rumah kecil tidak berpagar, rumah besar tidak berpintu. Masih kecil tidak belajar, sudah besar tidak pula mau berguru”.
Kini wanita itu hidup hampa tanpa rasa. Penantian kenangan sudah masuk lima tahun berlalu. Sementara tatapan Mahgdalena kini kosong tanpa asa cita. Aleksi rupanya kembali untuk memenuhi janji. Tersentak melihat kondisi pujaan hatinya, Aleksi menitikan air mata dan segera pergi meninggalkan harapannya.
Tak ada lagi kesedihan, air mata maupun suka duka, saat Aleksi pergi, selain ucapan, ‘deburan ombak di Tapak Paderi”. Hanya itu saja yang disebutnya berulang-ulang, mungkin tiada maknanya lagi.
Pihak keluarga hanya diam menanti takdir. Apalagi Sang mantan lama yang terbui, sudah kembali bebas. Khabar Mahgdalena sempat terdengar olehnya. Karena hati Sang mantan terlanjur perih, kesedihanpun tak terungkap, selain berdoa minta ampunan kepada Tuhan Yang Pengampun,