Akar Foundation: Penangkapan 40 Petani Penyalagunaan Kekuasaan 

Caption foto: Akar Foundation saat gelar konferensi pers, atas kuasa dari 187 orang petani yang tergabung dalam PPPBS untuk membela hak-hak dalam menghadapi konflik agraria, Senin (28/03/2022).
Caption foto: Akar Foundation saat gelar konferensi pers, atas kuasa dari 187 orang petani yang tergabung dalam PPPBS untuk membela hak-hak dalam menghadapi konflik agraria, Senin (28/03/2022).

Infonegeri, BENGKULU – Menyikapi penangkapan dan penetapan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor Mukomuko kepada 40 orang anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) Akar Law Office (ALO) menyebutkan aparat menyalagunakan kekuasaan.

Hal tersebut disampaikan saat konferensi pers yang digelar pada Minggu 15 Mei 2022, dalam konferensi pers nya menyebutkan bahwa menyikapi kejadian sejak proses penangkapan, pemeriksaan, penetapan status hingga proses penahanan. Tim ALO berpandangan.

“Bahwa penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap anggota PPPBS merupakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan tindakan sewenang-wenang (arbitrary detention) kepada masyarakat, yang secara jelas melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945, KUHAP, dan prinsip HAM.” ungkap Zelig Ilham Hamka, S.H, selaku Koordinator Reforma Agraria, Akar Foundation.

Zelig mengungkapkan alasannya karena saat ini sedang diupayakan penyelesaian konflik agraria di perkebunan yang digarapan masyarakat di Kecamatan Malin Deman dalam status a quo; dalam penyelesaian konflik agraria melalui skema TORA.

“Fakta sengketa keperdataan kepemilikan hak (konflik agraria) yang terjadi di lahan a quo yang harus diselesaikan melalui jalur perdata sebagaimana prinsip prejudicial geschill dan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956, diabaikan oleh aparat kepolisian saat melakukan proses penangkapan.” jelas Zelig.

Dalam hal ini, seharusnya masyarakat tidak ditangkap dan pihak kepolisian seharusnya mengambil posisi netral, begitupun dalam proses penangkapan yang dilakukan Brimob menggunakan seragam lengkap dan membawa laras panjang diduga kuat mengintimidasi masyarakat yang sedang melakukan aktivitas panen di lahannya.

“Proses penangkapan yang tidak manusiawi; yakni menelanjangi setengah badan, mengikat tangan masyarakat dengan tali plastik dan menyita HP milik masyarakat. Selain itu Penangkapan yang berlangsung juga diduga diwarnai dengan kekerasan,” kata Zelig.

Tidak itu saja Tim ALO juga menilai anggota Kepolisian dilarang melakukan tindakan dengan kekerasan dan penganiayaan, pun jika terjadi dugaan pelanggaran hukum, aparat kepolisian harus tetap memperlakukan setiap orang secara manusiawi.

“Hal ini ditegaskan kembali melalui Pasal 45c Perkap Nomor 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM, disebutkan bahwa, “tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum”. terang Zelig.

Pada pokoknya, penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras oleh aparat kepolisian harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum serta berimbang dengan ancaman yang dihadapi.

Dari berbagai instrumen peraturan perundang-undangan diatas, tidak ditemukan ketentuan yang dapat ‘melegitimasi’ tindakan kekerasan dan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang berlebihan sebagaimana yang dipertontonkan lewat rekaman video dan foto-foto yang tersebar.

Pemeriksaan. Setelah 40 orang anggota PPPBS ditangkap dan dibawa ke kantor kepolisian Resor Mukomuko, 40 orang tersebut menjalankan proses pemeriksaan tanpa didampingi oleh penasehat hukum, hal tersebut merupakan bentuk Pelanggaran terhadap Pasal 54 KUHAP:

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang- undang ini.”

Sampai saat ini, Pengacara ALO masih dibatasi bertemu dengan tersangka dengan alasan tidak ada penyidik yang mendampingi. Padahal penasehat hukum memiliki kebebasan untuk mendampingi kliennya dalam semua tingkatan untuk kepentingan pembelaannya.

Proses pemeriksaan yang dilakukan tanpa pendamping hukum berpotensi menempatkan para korban berada dalam situasi rentan sehingga sulit memastikan para korban memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik sebagaimana asas non self Incrimination dan Pasal 52 KUHAP;

“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”

Penangkapan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap Petani PPPBS tidak hanya terjadi sekali ini, melainkan sudah tercatat sejak tanggal 18 Maret 2022 lalu, dimana terjadi pembakaran pondok anggota PPPBS, penangkapan serta pemeriksaan 2 orang anggota PPPBS yang disertai dengan tindak kekerasan berupa pemukulan dan penyiksaan pada saat pemeriksaan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, ALO mendesak:

  1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah Bengkulu agar memerintahkan Kepala Kepolisian Resor Mukomuko menghentikan Penyidikan terhadap 40 orang Petani dengan menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3);
  2. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memutus rantai Impunitas dan memastikan Penegakan Hukum secara Pidana terhadap para Anggota Satuan Brimob yang melakukan Penangkapan sewenang-wenang terhadap 40 orang anggota PPPBS dengan kekerasan;
  3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM), Komisi Kepolisian Republik Indonesia dan Ombudsman Rl untuk turun langsung menginvestigasi penangkapan sewenang-wenang dalam kasus ini untuk memberikan perimbangan terhadap upaya-upaya yang mengarah ke impunitas kekerasan dalam Permasalahan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria:
  4. Presiden Republik Indonesia c.q Kementerian ATR/BPN Rl agar segera mempercepat agenda Reforma Agraria untuk dapat menghentikan sengketa baikdi Provinsi Bengkulu maupun diseluruh wilayah Republik Indonesia dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. [SA]