KPPU Naikkan Status Kasus Pinjol ke Penyelidikan

Caption foto: KPPU saat gelar persidangan (Foto/dok)
Caption foto: KPPU saat gelar persidangan (Foto/dok)

Infonegeri, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melanjutkan kasus pinjaman online (pinjol) ke tahapan penyelidikan, setelah melalui proses penyelidikan awal sejak 5 Oktober 2023 penyidik menetapkan 44 penyelenggara.

Dalam tahap penyelidikan, KPPU telah menetapkan 44 penyelanggara peer-to-peer (P2P) lending sebagai terlapor atas dugaan pelanggaran Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999, khususnya pasal 5 terkait penetapan harga.

Pada tahap penyelidikan yang ditetapkan melalui Rapat Komisi tanggal 25 Oktober 2023 tersebut, KPPU akan memanggil para pihak termasuk Terlapor, saksi, atau ahli yang berkaitan guna mengumpulkan alat bukti yang cukup terkait dugaan pelanggaran.

Dijelaskan Gopprera Panggabean, Direktur Investigasi Kedeputian Penegakan Hukum KPPU, Sebelumnya telah selesai penyelidikan awal atas dugaan pelanggaran dilakukan pelaku usaha pinjol yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

“Dalam tahap tersebut, AFPI telah menerbitkan pedoman perilaku layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi secara bertanggungjawab yang mengatur penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya (selain biaya keterlambatan).” Gopprera dalam keterangan tertulis diterima media ini, Sabtu (28/10/2023).

Selanjutnya, kata Gopprera biaya pinjaman AFPI mengatur tidak melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman. Pada tahun 2021, besaran tersebut diatur tidak melebihi 0,4 persen per hari.

“Setiap anggota AFPI wajib menandatangani suatu fakta integritas yang didalamnya mewajibkan anggota untuk tunduk pada pedoman yang dibuat asosiasi tersebut. Dalam penyelidikan awal, KPPU telah melakukan berbagai kegiatan pengumpulan informasi, termasuk permintaan informasi secara tertulis kepada para anggota AFPI dan permintaan keterangan dari 5 penyelenggara P2P lending, AFPI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).”

“Melalui proses tersebut, KPPU telah memperoleh satu alat bukti dugaan pelanggaran pasal 5 dan memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan. KPPU juga menemukan bahwa tujuan pengaturan AFPI atas penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya tersebut adalah untuk melindungi konsumen dari biaya predatory lending, atau praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat ketentuan bunga dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi penerima pinjaman atau tidak memperhatikan kemampuan membayar kembali penerima pinjaman.” jelas Gopprera.

Gopprera juga membeberkan dalam proses penyelidikan akan berlangsung tertutup selama 60 hari kedepan, dan tidak tertutup kemungkinan adanya perpanjangan masa penyelidikan ataupun penambahan Terlapor, bergantung pada alat bukti yang diperoleh.

“Pada proses tersebut, KPPU akan membuktikan apakah perilaku beberapa penyelenggara P2P lending yang menerapkan suku bunga yang sama tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara para penyelenggara.” terang Gopprera.

Pada prinsipnya di suatu pasar yang bersaing, lanjut Gopprera setiap pelaku usaha P2P lending akan menjalankan usahanya secara lebih efisien, sehingga mampu menetapkan tarif suku bunga yang lebih rendah dari para pesaingnya serta memberikan berbagai pilihan fasilitas dan tarif suku bunga bagi konsumen.

Pewarta | Soprian Ardianto
Editor | Bima Setia Budi