Politikus: Poin Utama Konflik di Mukomuko Adalah Agraria

Caption foto: Terlihat seorang bapak saat memeluk anaknya dipenuhi hisap tangis

Infonegeri, BENGKULU – Polres Mukomuko akhirnya membebaskan 40 petani dengan menempuh jalur restorative justice. Pelapor yakni PT.Daria Dharma Pratama (DDP), sepakat tidak menempuh jalur hukum (damai).

Sebelum kesepakatan damai, Anggota DPRD Provinsi Bengkulu, Badrun Hasani menyebutkan personal utama didalam penangkapan yang harus benar-benar diselesaikan adalah konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan dan memang selama ini terasa ditutupi.

“Persoalan yang terjadi hari ini sebenarnya merupakan akses, pokok permasalahan utama adalah sengketa lahan, ini mestinya yang harus kita selesaikan setelah proses hukum selesai. Dan Isyaallah ini telah diberikan ruang oleh Pak Gubernur.” ungkapnya, pada (18/05/2022).

Saat ini Pemerintah dan bersama DPRD Provinsi Bengkulu, telah melakukan berbagai upaya salah satunya akan pendekatan Restoratif Justice dengan berbagai pihak agar kasus ditetapkannya 40 petani sebagai tersangka tidak berlanjut ke Pengadilan.

“Kami sudah melakukan pertemuan kepada Pihak Polda. Sebenarnya kami saat ini tinggal menunggu dari hasil bahwa 40 petani itu Insyaallah akan diupayakan diselesaikan dengan cara Restoratif Justice agar persoalan ini tidak berlanjut ke Pengadilan.” Ungkapnya sebelum dilakukan pembebasan.

Dijelaskannya langkah Restoratif Justice merupakan ruang yang telah diberikan oleh Kapolri selain memang sebelumnya sudah ada pembicaraan antara Pemerintah Provinsi dan pihak Kepolisian supaya 40 orang ini tidak belanjut ke pengadilan.

“Pendekatan Restoratif Justice ini memang yang diberikan ruang oleh Kapolri bahwa kasus ini tidak harus ke pengadilan, karena hari ini Wakapolda berkunjung ke Polres Mukomuko untuk membicara Restoratif Justice terhadap ke 40 petani tersebut,” jelasnya.

Badrun Hasani sebagai wakil rakyat Dapil Mukomuko, ia merupakan juga asli kelahiran dari Mukomuko mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak, yang empati dan telah membantu masyarakat termasuk juga kepada Gubernur Bengkulu.

“Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terhadap persoalan 40 Petani warga Mukomuko, termasuk juga kepada Pak Gubernur Bengkulu sebagai perwakilan Masyarakat dan Bupati Mukomuko serta pejabat lainnya.” Katanya.

Pembebasan pada Senin (23/06/2022) kemarin disampaikan 157 Advokat dari 17 LBH yang diwakili Koordinator Reforma Agraria, Akar Foundation, Zelig Ilham Hamka, S.H saat mendampingi 40 anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS).

“Kami sangat mengapresiasi langkah Kepolisian Resort Mukomuko menyelesaikan pekara ini melalui jalur restorative justice, dan harapannya memang jalur restorative justice bisa menguntungkan semua pihak dalam artian 40 orang itu bisa berkumpul lagi dengan keluarga mereka,” ungkapnya.

Sementara itu Kapolres Mukomuko, AKBP Witdiardi, S.ik, MH juga berharap hal yang sama. Dengan menempuh jalur restorative ini semoga tidak lagi menimbulkan konflik antara kedua belah pihak dengan terus melakukan komunikasi lebih baik lagi kedepannya.

“Untuk proses restorative yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Kami juga sudah mengundang saksi, dalam hal ini Forkopimda. Tadi juga hadir Bupati, Ketua DPRD, Kejari, Dandim, dan beberapa pejabat lainnya. Semoga ini langkah awal untuk membangun komunikasi lebih baik kedepannya,” tambahnya.

Duduk Perkara Konflik Agraria Mukomuko:

Objek agraria yang menjadi sumber kompetisi hak dalam kasus ini pada awalnya adalah lahan garapan masyarakat Malin Deman. Wilayah tersebut memiliki fungsi sosial dan budaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menanam Padi, Kopi, Jengkol, dan tanaman komoditi pangan lainnya.

Pada tahun 1995 wilayah tersebut dialihkan menjadi lahan perkebunan dengan komoditi Kakao dan Kelapa Hibrida melalui konsesi HGU kepada PT. Bina Bumi Sejahtera (BBS) seluas 1889 Ha. Namun, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditi Kakao seluas 350 Ha dan Kelapa Hibrida seluas 14 Ha di atas lahan konsesi selama 2 tahun.

Sehingga setelah 2 tahun tersebut (Tahun 1997) pihak perusahaan tidak mengelola lahannya, sebagian besar warga sekitar beserta dengan warga yang belum mendapatkan ganti rugi dari PT.BBS mulai menggarap lahan HGU terlantar PT. BBS tersebut.

Pada Tahun 2005, lahan HGU terlantar PT. BBS yang telah dikelola oleh masyarakat tersebut diklaim oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT.DDP dan PT. BBS.

Bermodalkan klaim tersebut, PT. DDP mulai melakukan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat yang telah menggarap lahan HGU terlantar PT. BBS dengan melakukan penanaman komoditi sawit, pemaksaan ganti rugi, dan melakukan tindakan represif.

Menyikapi hal demikian, beberapa masyarakat yang telah menggarap lahan HGU terlantar PT.BBS memilih bertahan di tengah berbagai ancaman dan ketidakamanan dalam pengelolaan lahan garapannya.

Sejak Tahun 2012 hingga saat ini, ragam upaya seperti pengaduan ke aparat kepolisian, pemerintah kabupaten dan provinsi, serta perwakilan rakyat di Mukomuko telah ditempuh oleh masyarakat setempat dalam memperjuangkan kepastian hak atas lahan garapan mereka. Namun, semua upaya yang telah dilakukan tersebut tidak berujung pada pengakuan dan perlindungan hak yang diperjuangkan.

15 Tahun masyarakat yang menggarap lahan HGU terlantar PT.BBS harus dihadapkan dengan konflik, hingga Tahun 2020 masyarakat penggarap memilih untuk membentuk kelompok perjuangan yang dinamakan PPPBS.

Pada Bulan Agustus Tahun 2021, PPPBS melalui kebijakan Reforma Agraria sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria mengajukan usulan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan subjek 187 orang masyarakat dan objek lahan usulan seluas 603,87 Ha kepada Bupati Mukomuko, Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Mukomuko, Gubernur Bengkulu, Kantor Wilayah BPN Provinsi Bengkulu, dan Kementerian ATR/BPN. Hingga saat ini usulan dari anggota PPPBS tersebut masih menunggu untuk ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang. [SA]