FKGI Desak Penegak Hukum Ungkap Pembalakan Habitat Gajah di Bengkulu

Infonegeri, BENGKULU – Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mendesak para penegak hukum untuk membongkar praktik terstruktur pembalakan liar di habitat satwa dilindungi gajah Sumatera (Elephas maximus Sumatranus) di kawasan Hutan Produksi Air Rami di wilayah Kabupaten Mukomuko yang masuk dalam bagian Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor gajah Bentang Seblat.

“Kami mendesak aparat hukum untuk membongkar praktik terstruktur pembalakan liar di HP Air Rami dan sudah ada tiga nama yang kami duga sebagai aktor lokal karena saat tim melakukan pemantauan di lapangan, nama ketiga orang ini terus muncul dan mereka juga memiliki kebun luas di lokasi,” kata Koordinator FKGI wilayah Bengkulu, Ali Akbar saat jumpa pers memperingati Hari Bumi 2021 di Bengkulu, Kamis.

Ia mengatakan ketiga aktor tersebut adalah HB, Sr dan Tm yang merupakan warga Desa Semundam Kecamatan Ipuh Kabupaten Mukomuko.

Ketiganya memiliki rambahan cukup luas di kawasan HP Air Rami dan dua dari mereka memiliki sawmil, masing-masing terdapat di SP 3 Desa Cinta Asih Air Rami dan sawmill di Desa Semundam Kecamatan Ipuh.

Saat tim pantau dari FKGI melakukan pemantauan di lapangan, para aktor ini juga sedang berada di lapangan dan mereka sedang beraktivitas di dalam hutan.

“Bahkan salah satu dari mereka juga mengejar tim yang melakukan pemantauan di lapangan menggunakan kendaraan roda dua,” kata Ali.

Hutan Produksi Air Rami ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri kehutanan No 784/Menhut/-II//2012. Wilayah ini memiliki luasan 14.010,04 hektare yang berada di wilayah administratif Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko.

HP Air Rami termasuk dalam gugusan Bukit Barisan Bentang Seblat yang memiliki karakteristik berbukit dengan tingkat kelerengan tertinggi dan terendah.

Wilayah ini termasuk dalam DAS Seblat dan beberapa anak sungai seperti Seblat Merah, Seblat Jernih dan beberapa anak sungai lainnya.

Ali mengatakan tim juga menemukan belasan kubik kayu balok yang tidak diketahui pemiliknya, serta ratusan hektare hutan yang sudah ditebang untuk dijadikan areal kebun, dan bahkan sebagian sudah ditanami kelapa sawit.

“Hari pertama kami masuk kawasan HP Air Rami, ada pondok perambah hutan yang masih berdiri tegak, tapi ketika kami pulang pondok beratap plastik biru itu sudah roboh dan kiri kanannya ditemukan kotoran gajah masih basah,” jelasnya.

Menurutnya, rombongan gajah liar itu diperkirakan berjumlah tiga ekor, dan saat ini kemungkinan masih berada di kawasan HP Air Rami.

Tim juga mencatat pondok-pondok di ladang ilegal dalam kawasan HP Air Rami jumlahnya berkisar 12 pondok, dan bukaan ladang yang sebelumnya telah dihabisi kayunya mencapai 12 titik dengan total luasan kisaran 300 hektare.

Sebagian kawasan HP Air Rami dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) milik PT Anugrah Pratama Inspirasi (API) dan berdampingan dengan area perkebunan sawit milik PT Alno Agro Utama dan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat yang merupakan habitat kunci gajah Sumatera di wilayah Bengkulu.

Saat ini status gajah Sumatera dikategorikan Critically Endangered atau sangat terancam kepunahan.

Menurut Ketua FKGI, Donny Gunaryadi, penurunan populasi gajah Sumatera dalam kurun 2011 hingga 2017 mencapai angka 700 ekor dan kepunahan lokal telah terjadi lebih dari 20 kantong habitatnya.

Di seluruh pulau Sumatera saat ini hanya tersisa 22 kantong populasi gajah dan sebagian besar dalam keadaan kritis. Perburuan liar, pemasangan pagar listrik, jerat, dan konflik manusia denna gajah menjadi penyebab langsung kematian gajah.

“Konflik antara manusia dan gajah tidak hanya menimbulkan kematian pada gajah tetapi juga merenggut korban jiwa manusia,” kata Donny.

Lanjut Dony, Populasi gajah Sumatera pada 2017, diperkirakan 1.694 ekor hingga 2.038 ekor yang tersebar di tujuh provinsi yang meliputi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung.

Kebutuhan ruang untuk pembangunan wilayah perkebunan dan pemukiman, perburuan, konflik antara manusia dan gajah Sumatera yang sering terjadi merupakan tantangan dalam upaya  konservasi gajah sumatera terutama terkait habitat satwa tersebut.  Atas dasar tersebut, diperlukan upaya-upaya penyelamatan yang mendesak.

“Sehingga upaya penyelamatan gajah sumatera dan habitatnya harus dilakukan tidak hanya oleh orang-orang yang bekerja dalam dunia konservasi saja, akan tetapi harus dilakukan dan didukung oleh pihak lainnya,” katanya.

Sementara data Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE Koridor Gajah Sumatera lanskap Seblat, Provinsi Bengkulu menyebut populasi gajah Sumatera di kawasan bentang Seblat hanya tersisa 50 ekor.

Gunggung Senoaji dari Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE koridor gajah Bentang Seblat yang juga akademisi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu mengatakan penetapan bentang Seblat sebagai KEE merupakan harapan terakhir dalam upaya pelestarian gajah Sumatera ditengah terus menyempitnya habitat gajah.

“Pembentukan KEE ini ditargetkan menjadi solusi pengelolaan ruang bagi manusia dan gajah secara harmonis sehingga gajah selamat, manusia juga selamat,” kata Gunggung.

KEE koridor gajah Bentang Seblat mencakup kawasan hutan produksi Air Rami, hutan produksi terbatas Lebong Kandis, Taman Wisata Alam (TWA) Seblat dan sebagian konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan dan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit dengan luasan mencapai 40.220,81 hektare.

KEE ini resmi diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE pada Desember 2019, yang dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor 4 Tahun 2017.

Saman Lating dari Kanopi Hijau Indonesia mengatakan dalam kasus ini PT API selaku pemegang izin pemanfaatan hasil hutan juga patut dimintai pertanggungjawaban di area produksi seluas kurang lebih 33.070 ha dan diwajibkan menyusun rencana kerja usaha pemanfaatn hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi berbasis inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB).

Beberapa kewajiban PT API antara lain bertanggung jawab menjaga kawasan hutan yang menjadi areal konsesinya sexual dengan pasal 32 UU No 41 Tahun 1999 dan melaksanakan kegiatan dan atau usaha berdasarkan konsesi dalam kawasan hutan sesuai yang tidak menimbulkan kerusakan hutan sesuai dengan pasal 50 ayat 2, UU No.41 Tahun 1999.

Bahwa PT.API dalam menjalankan usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah mendapat konsesi dari pemerintah wajib menaati ketentuan sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Pelanggaran yang dilakukan terkait ketentuan ketentuan tersebut dapat diancam dengan pidana sebagaimana yang tertuang pada BAB XIV Ketentuan Pidana pasal 78 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

“Karena PT API adalah perusahaan yang berbadan hukum maka berlaku juga pasal 78 ayat 14 yang mengatur tentang tindak pidana dan dapat juga dijatuhi sanksi lainnya berupa ganti rugi (keperdataan) dan sanksi administrasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan,” katanya. (SA/Rls)