Mekanisme Pengisian Pejabat Gubernur, Bupati, dan Walikota, “Melawan” Amanat MK?

Caption foto: Elfahmi Lubis (Instagram/pribadi)
Caption foto: Elfahmi Lubis (Instagram/pribadi)

Penulis: Elfahmi Lubis, Merupakan Akademisi dan juga KAHMI Bengkulu

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024, telah berimplikasi pada kekosongan 271 kursi kepala daerah karena berakhirnya masa jabatan mereka. Rinciannya, 101 kepala daerah pada 2022 dan 170 daerah pada 2023.

Khusus di bulan Mei 2022 ini saja ada 49 kepala daerah yang telah berakhir masa jabatannya, yaitu 44 jabatan bupati/walikota, dan 5 jabatan gubernur. Khusus 5 jabatan gubernur sudah dilakukan pengisian dengan telah ditunjuk oleh Presiden melalui Mendagri beberapa waktu lalu. Begitu juga untuk 44 jabatan bupati/walikota.

Pengisian jabatan Pejabat Kepala Daerah, memang menjadi sorotan dan atensi banyak pihak. Soalnya, sering dikait-kaitkan dengan dengan kepentingan politik Pilpres dan Pilkada serentak 2024. Secara politis bisa dipahami karena keberadaan pejabat kepala daerah sangat strategis dalam mempengaruhi peta dukungan politik di daerah.

Selain itu dalam tradisi politik Indonesia, kekuatan birokrasi seringkali dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan politik, terutama dalam konteks Pilpres 2024. Oleh sebab itu semua pihak dan kekuatan politik yang ada saat ini punya kepentingan tentang siapa yang akan ditunjuk sebagai kepala daerah.

Kekuatiran lain yang sorotan publik adalah soal transparansi mekanisme pengisian pejabat kepala daerah yang dilakukan pemerintah pusat. Intinya, tidak boleh ada tindakan sewenang-wewenang dalam pengisian pejabat kepala daerah. Apalagi sampai menggunakan dasar pertimbangan kepentingan politis tertentu. Soalnya, walaupun penunjukan pejabat kepala daerah merupakan domain dan kewenangan pemerintah tapi tetap mekanismenya dilakukan secara demokratis dan menyerap aspirasi masyarakat di daerah. Jika hal ini tidak dilakukan, dapat berpotensi menimbulkan konflik dan gesekan ditingkat lokal.

Saya ingin mencoba melalui tulisan ini, memberikan analisa soal penunjukan pejabat kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) dalam aspek regulatif. Berdasarkan ketentuan Pasal 201 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU, disebutkan:

“Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.”

Kelemahan dari ketentuan Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 ini tidak dijelaskan tentang mekanisme dan tata cara bagaimana pengisian jabatan pejabat kepala daerah yang dimaksud. Dengan demikian oleh pemerintah secara teknis pengisian jabatan pejabat gubernur prosesnya dilakukan Mendagri dengan memberi tiga nama calon penjabat gubernur kepada presiden, dan presiden yang akan memilih penjabat gubernur. Sedangkan untuk penjabat bupati dan walikota akan dipilih langsung oleh Mendagri berdasarkan usulan dari gubernur.

Kerancuan regulasi tentang mekanisme penunjukan pejabat kepala daerah seperti inilah yang sering menimbulkan kecurigaan publik, bahwa ada space (ruang) regulasi yang kosong untuk “dimainkan”, terutama berkaitan dengan akuntabilitas dan transparansi penunjukan pejabat kepala daerah dari berbagai “kepentingan” politis tertentu.

Dalam konteks ini proses penunjukan pejabat kepala daerah rawan digugat dan disengketakan secara hukum. Dasarnya, adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Terkait soal pengisian pejabat kepala daerah yang masa jabatannya habis pada tahun 2022 dan 2023, setidaknya MK telah mengeluarkan tiga putusan, yaitu Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan MK No 15/PUU-XX/2022, dan Putusan MK No 18/PUU-XX/2022 tentang Pengujian UU No 10 Tahun 2016 terhadap UUD 1945.

Pada pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 67/2021, MK menyatakan pemerintah perlu menerbitkan aturan pelaksana dari Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berisi tata cara mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Dengan aturan turunan tersebut, maka akan tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur serta jelas, sehingga pengisian posisi penjabat tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

Sedangkan melalui Putusan MK Nomor 15/2022, MK dalam pertimbangannya memberi sejumlah panduan terkait penunjukan penjabat sipil, dimana prajurit TNI & personel Polri aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah, kecuali telah pensiun dan mengundurkan diri.

Persoalannya, sampai saat ini Kementerian Dalam Negeri, tidak membuat aturan pelaksana yang mengatur tentang mekanisme pengisian pejabat kepala daerah sebagaimana yang telah dimandatkan/diamanatkan oleh MK.

Sementara proses pengisian jabatan 5 pejabat gubernur dan 44 pejabat bupati dan walikota, yang masuk kloter pertama, sudah dilakukan oleh pemerintah. Oleh sebab itu ada kemungkinan muncul gugatan atas tindakan administratif pemerintah ini.

Pentingnya transparansi dan demokratis dalam pengisian jabatan kepala daerah ini juga merujuk pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis.

Menurut pandangan saya frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 ini tidak saja dimaknai dalam konteks pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dalam mekanisme Pilkada langsung, tapi juga harus dimaknai dalam konteks pengisian pejabat kepala daerah yang masa jabatannya telah berakhir oleh pemerintah.

Selain itu saya juga menyakini bahwa lahirnya pertimbangan MK dalam putusannya pada perkara pengujian UU Pilkada terhadap UUD 1945, bahwa pemerintah harus membuat peraturan pelaksana tentang mekanisme dan tata cara pengisian pejabat kepala daerah, merujuk pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.

Untuk itu kita berharap pemerintah dapat menerapkan asas-asas kehati-hatian dalam pengisian pejabat kepala daerah untuk mengindari potensi dan kerawanan digugat secara hukum karena dinilai melanggar konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi. Terima kasih semoga mencerahkan, selamat berakhir pekan.