Infonegeri, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan Putusan Sela dalam perkara Pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 4, 5 dan 6 Tahun 1956, tentang Pembentukan Daerah Tingkat II termasuk Kotapraja, dalam Lingkungan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, Sebagai UU.
“Mengadili, sebelum menjatuhkan Putusan Akhir: Memerintahkan kepada Gubernur Provinsi Bengkulu untuk memfasilitasi penyelesaian mediasi antara Pemerintah Kabupaten Lebong dengan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara dalam upaya penyelesaian sengketa batas wilayah dan cakupan wilayah Kabupaten Bengkulu Utara di bawah supervisi Kementerian Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan ini diucapkan,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan sela, sidang pengucapan Putusan Nomor 71-PS/PUU-XXI/2023, Jumat (22/03/2024).
MK dalam amar putusan juga memerintahkan kepada Gubernur Provinsi Bengkulu untuk melaporkan kepada Mahkamah mengenai hasil mediasi antara Pemerintah Kabupaten Lebong dengan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara tersebut dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak mediasi selesai dilakukan.
“Memerintahkan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan supervisi dalam pelaksanaan mediasi dan melaporkan kepada Mahkamah hasil supervisi yang dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak mediasi selesai dilakukan,” lanjut Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pertimbangan hukum putusan tersebut mengatakan, demi memeroleh penyelesaian yang tepat dan efektif serta berkeadilan, upaya penyelesaian sengketa wilayah yang telah dilakukan Gubernur Bengkulu di atas perlu dilakukan kembali dengan menghadirkan semua pihak, in casu Pemerintah Kabupaten Lebong dan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara tanpa terkecuali, dengan supervisi Kementerian Dalam Negeri sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam menetapkan batas wilayah sekaligus institusi yang bertanggungjawab dalam melakukan fasilitasi penyelesaian sengketa terkait batas daerah.
Selanjutnya, sambung Arief, demi memberikan kepastian hukum terkait dengan upaya penyelesaian melalui mediasi dimaksud, Mahkamah perlu menetapkan jangka waktu penyelesaian upaya mediasi tersebut, yakni selama paling lama 3 (tiga) bulan sejak Putusan Sela a quo diucapkan.
Jangka waktu demikian dinilai cukup memberikan kesempatan kepada para pihak yang “bersengketa” untuk mencari jalan keluar terbaik terkait dengan persoalan batas wilayah dimaksud. Apalagi, sebagaimana fakta yang terungkap dalam persidangan, para pihak yang “bersengketa” dan juga Gubernur Bengkulu pada dasarnya sama-sama memiliki itikad baik untuk mengupayakan penyelesaian sengketa batas wilayah tersebut.
Mahkamah perlu menjatuhkan putusan sela untuk memerintahkan Gubernur Bengkulu memfasilitasi upaya penyelesaian sengketa batas wilayah dan cakupan wilayah Kabupaten Bengkulu Utara melalui mediasi yang dihadiri oleh Pemerintah Kabupaten Lebong dan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara di bawah supervisi Kementerian Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak Putusan Sela a quo diucapkan untuk kemudian melaporkan hasilnya kepada Mahkamah paling lama 7 (tujuh) hari sejak mediasi selesai dilakukan. Demikian halnya terhadap Kementerian Dalam Negeri juga diharuskan melaporkan hasil supervisinya yang dilakukan kepada Mahkamah paling lama 7 (tujuh) hari sejak mediasi selesai dilakukan.
Selain itu, Arief juga menyampaikan, putusan sela dapat dijatuhkan oleh Mahkamah berkenaan dengan pengujian undang-undang manakala terdapat kebutuhan dalam praktik dan adanya tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Selain itu, putusan sela dapat pula dilakukan jika terdapat kondisi yang sangat spesifik terutama dalam melindungi hak konstitusional warga negara (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70-PS/PUU-XX/2022).
Lebih lanjut Pasal 69 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menentukan bahwa Putusan Mahkamah dapat berupa Putusan, Putusan Sela atau Ketetapan.
Dengan demikian, sambung Arief, menurut Mahkamah, meskipun Pemohon tidak memohonkan putusan sela (provisi) dalam permohonannya, namun untuk memberikan kepastian hukum yang adil, in casu dalam kaitan dengan cakupan wilayah dan batas-batas wilayah Pemerintahan Daerah Bengkulu Utara, maka Mahkamah perlu mengeluarkan Putusan Sela dalam permohonan a quo.
Persoalan Konstitusionalitas
Kemudian, Arief juga menjelaskan, persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan oleh Pemohon adalah terkait dengan ketidakjelasan cakupan wilayah dan batas-batas wilayah Pemerintahan Daerah Kabupaten Bengkulu Utara yang pada akhirnya melegitimasi lepasnya sebagian wilayah Pemohon yang masuk menjadi bagian wilayah administratif Pemerintahan Daerah Kabupaten Bengkulu Utara.
Berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas dimaksud, Mahkamah telah beberapa kali melaksanakan persidangan dalam perkara a quo, yang dihadiri oleh para pihak, termasuk DPR dan Presiden sebagai pemberi keterangan. Dalam persidangan-persidangan tersebut, baik Pemohon dan/atau kuasanya, DPR atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, Pihak Terkait Gubernur Provinsi Bengkulu dan/atau kuasanya, serta ATR/BPN Provinsi Bengkulu dan/atau kuasanya telah pula memberikan keterangan baik secara lisan dalam persidangan maupun secara tertulis kepada Mahkamah, termasuk mengajukan alat bukti, ahli dan/atau saksi, serta menyampaikan kesimpulan.
Menurut Mahkamah, persoalan mengenai ketidakjelasan cakupan wilayah dan batas-batas wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Utara yang pada akhirnya berakibat lepasnya sebagian wilayah Pemohon yang masuk menjadi bagian wilayah administratif Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Utara merupakan salah satu permasalahan yang berkait erat dengan pembagian daerah.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 18 UUD 1945 mengatur mengenai pembagian daerah dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945, serta mengatur secara jelas dan sistematis pada masing-masing tingkat Pemerintahan, yakni daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Selain itu, ketentuan tersebut juga memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan kemajuan daerah sebagai bagian dari tujuan nasional.
Dalam kaitan dengan otonomi daerah, gubernur berperan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sekaligus sebagai kepala daerah otonom yang memiliki fungsi pembinaan, pengawasan, dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan selain menjalankan kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pemerintah daerah.
Sebagai kepala daerah otonom yang memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan dimaksud, gubernur bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan sengketa batas wilayah terlebih dahulu melalui mediasi yang melibatkan kedua belah pihak yang berselisih.
Apabila mediasi tersebut tidak mencapai penyelesaian, gubernur dapat melibatkan pemerintah pusat, in casu, Kementerian Dalam Negeri. Adapun permohonan penyelesaian kepada Mahkamah merupakan pilihan terakhir dalam menyelesaikan sengketa wilayah setelah upaya penyelesaian lain tidak mencapai titik temu.
Pertimbangan hukum MK juga menyebutkan fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa usaha untuk menyelesaikan persoalan mengenai batas dan cakupan wilayah antara Kabupaten Lebong dengan Kabupaten Bengkulu Utara pada dasarnya telah beberapa kali dilakukan.
Terakhir, setelah keluarnya Permendagri 20/2015, Gubernur Bengkulu mengadakan Rapat Fasilitasi Rencana Batas Antara Kabupaten Bengkulu Utara dengan Kabupaten Lebong pada tanggal 27 Maret 2018 yang dihadiri oleh, antara lain, Dirjen Bina Admnistrasi Kewilayahan, Direktur Toponimi dan Batas Daerah, Kasubdit Batas Antar Daerah Wilayah I, Kasi Batas Antar Daerah Wilayah IB, Kapolda Bengkulu, Pengadilan Tinggi Bengkulu, Korem Bengkulu, Kejaksaan Tinggi Bengkulu, Bupati Lebong, Bupati Bengkulu Utara, Ketua DPRD Kabupaten Lebong, Ketua DPRD Kabupaten Bengkulu Utara, Kapolres Bengkulu Utara, Kapolres Lebong, Dandim Kabupaten Bengkulu, Dandim Kabupaten Lebong, Kajari Lebong, Kanwil BPN Provinsi Bengkulu, Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi Bengkulu, Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi Bengkulu, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Bengkulu, Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam Provinsi Bengkulu, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Bengkulu, dan Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bengkulu.
Dalam rapat tersebut, pada pokoknya menyimpulkan hal-hal sebagai berikut; membentuk tim verifikasi dan sosialisasi Permendagri 20/2015 untuk melacak kembali titik koordinat dan memastikan pada titik koordinat mana saja yang berpotensi untuk diusulkan revisi atau perubahan; Tim terdiri dari Tim Penegasan Batas Daerah (PBD) Pusat, PBD Provinsi Bengkulu, PBD Kabupaten Bengkulu Utara, dan PBD Kabupaten Lebong.
Selanjutnya, Arief melanjutkan, sebagai tindak lanjut atas Rapat Fasilitasi Rencana Batas Antara Kabupaten Bengkulu Utara dengan Kabupaten Lebong pada tanggal 27 Maret 2018 tersebut, Gubernur Bengkulu mengadakan Rapat Fasilitasi Batas Wilayah pada tanggal 7 April 2022 dengan mengundang Bupati Bengkulu Utara beserta jajarannya, Bupati Lebong beserta jajarannya, Tim PBD Provinsi, PBD Kabupaten Bengkulu Utara, dan PBD Kabupaten Lebong. Namun, pertemuan tersebut hanya dihadiri, antara lain, Pemerintahan Kabupaten Lebong beserta jajarannya, Setda Provinsi Bengkulu, BPN Provisi Bengkulu, dan Tokoh Presedium Kabupaten Lebong, tanpa dihadiri oleh Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara.
Adapun alasan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara tidak menghadiri Rapat Fasilitasi Rencana Revisi Batas Antara Kabupaten Bengkulu Utara dengan Kabupaten Lebong tersebut adalah karena Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara beserta Forum Komunikasi Pimpinan Daerah sepakat untuk konsisten dengan Permendagri 20/2015.
Apabila ada pihak-pihak yang tidak bersepakat dipersilakan untuk mengajukan upaya-upaya hukum sesuai dengan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 71/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Bupati Lebong Kopli Ansori dan Ketua DPRD Kabupaten Lebong Carles Ronsen yang mengatasnamakan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong. Pada Sidang Pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (25/7/2023) lalu, Pemohon mengaku dirugikan atas berlakunya Ketentuan Pasal 1 angka 10 beserta Penjelasan dari Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara.
Menurut Pemohon, Ketentuan itu telah menyebabkan Pemohon kehilangan wilayah Kecamatan Padang Bano untuk seluruhnya, beserta sebagian wilayah 18 Desa yang tersebar di 6 Kecamatan lainnya.
Pemohon mengaku dapat membuktikan wilayah Kecamatan Padang Bano dan sebagian wilayah 18 Desa yang berada di 6 Kecamatan lainnya itu adalah bagian wilayah Pemohon dengan dasar Undang-Undang Pembentukan Pemohon.
Pemohon menyebutkan, masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Padang Bano dan sebagian wilayah 18 Desa yang berada di 6 Kecamatan lainnya pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilihan Anggota DPR RI, DPD RI, serta DPRD di tahun 2009 dan 2014 merupakan pemilih yang masuk Daerah Pemilihan Kabupaten Lebong dan bukan masuk ke Daerah Pemilihan Kabupaten Bengkulu Utara.
Editor | Bima Setia Budi
Sumber | mkri.id