Perkuat Gerakan Solidaritas Perempuan Hadapi Ketidakadilan Pembangunan dan Krisis Ekologi

Akar Global Inisiatif bersama dengan 40 perempuan perwakilan komunitas adat dan komunitas lokal beserta 12 NGO se-Indonesia gelar Konferensi Perempuan dalam rangka merayakan International Women’s Day (IWD) di di Hotel Grand Cemara – Jakarta (Foto/dok: Akar Global Inisiatif)
Caption foto: Akar Global Inisiatif bersama dengan 40 perempuan perwakilan komunitas adat dan komunitas lokal beserta 12 NGO se-Indonesia gelar Konferensi Perempuan dalam rangka merayakan International Women’s Day (IWD) di di Hotel Grand Cemara – Jakarta (Foto/dok: Akar Global Inisiatif)

Infonegeri, JAKARTA – 1 Maret 2024 Akar Global Inisiatif bersama dengan 40 orang perempuan perwakilan komunitas adat dan komunitas lokal beserta 12 NGO se-Indonesia menyelenggarakan Konferensi Perempuan Berbagi di Hotel Grand Cemara, Galeri 6 Cemara, Komnas HAM dan Komnas Perempuan, Jakarta Pusat-Indonesia.

Konferensi yang dilaksanakan selama 3 hari ini yang bertujuan untuk memperkuat gerakan dan solidaritas perempuan menghadapi ketidakadilan pembangunan dan krisis ekologi.

Konferensi ini juga merupakan momentum bagi perempuan untuk merayakan International Women’s Day (IWD) dan momentum untuk menyampaikan tuntutan dan agenda perempuan kepada pemerintah pasca pemilu 2024 untuk melindungi dan menghormati hak-hak perempuan adat dan lokal dalam mengelola sumber-sumber penghidupannya.

Selama 3 hari, konferensi ini difasilitasi penuh oleh Dr. Dra. Titiek Kartika.H MA dan Listyowati. Di hari pertama, Akar Global Inisiatif menghadirkan rekan ahli seperti Dr. Mia Siscawati , Devi Anggraini dan Dr. Ruth Indiah Rahayu.

Dalam sambutannya pada sesi pembukaan, Erwin Basrin, Direktur Eksekutif Akar Global Inisiatif menyampaikan bahwa salah satu strategi yang telah berhasil Akar lakukan untuk mengarusutamakan isu perempuan dalam pembangunan adalah dengan menempelkan isu perempuan dengan isu yang lebih politis, seperti isu pangan dan kemiskinan.

Dan untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dituliskan tujuan jangka panjang dari konferensi ini, gerakan perempuan harus dimobilisasi pada level internasional agar gerakan ini menciptakan dampak yang meluas.

Mia Siscawati sebagai narasumber pertama menyampaikan materi tentang posisi perempuan dalam tata kelola SDA. Menurutnya, untuk mengetahui bagaimana perempuan memanfaatkan agensinya dalam mengelola sumber daya alam, hal tersebut harus berangkat dari identifikasi tata kuasa, yang berkaitan dengan sistem tenurial.

Sistem tenurial ini merupakan seperangkat mekanisme atau pengaturan tentang tanah atau sumber daya alam yang didalamnya mencakup beberapa poin penting seperti:

  1. Siapa yang memiliki akses terhadap tanah dan atau sumber daya alam ?
  2. Bagaimana cara memperoleh akses tersebut ?
  3. Siapa yang memperoleh manfaat dari pengelolaan sumber daya alam ?
  4. Digunakan untuk apa yang sudah didapatkan tersebut ?

Menurut Mia, kebanyakan aktor yang mengelola sumber daya alam di Indonesia adalah mafia tanah. Mafia tanah ini bisa aparatur negara atau perusahaan yang memiliki power/kekuasaan untuk mengatur bahkan mengontrol penguasaan dan pengaturan tentang tanah atau sumber daya alam.

Sehingga hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alamnya. Hak tersebut bukan hanya berbentuk legitimasi hukum melainkan, pengetahuan, pengalaman dan interaksi mereka dengan sumber daya alamnya.

Selanjutnya Mia menyampaikan isu terkait pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, baik dalam keluarga inti, keluarga besar maupun kelompok. Hal ini penting diuraikan karena berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam tata kelola sumber daya alam yang secara faktual belum sampai pada partisipatif aktif dan memberdayakan → mendorong suatu perubahan.

Kemudian narasumber yang kedua; Devi Anggraini. Beliau menyampaikan visibilitas Perempuan Adat dalam kebijakan. Devi memberikan penekanan yang sangat kuat kenapa eksistensi, hak, dan pengetahuan perempuan adat perlu dimasukan dalam dokumen rencana pembangunan di Indonesia. Hal tersebut menjadi sangat krusial karena berkaitan dengan regenerasi, reclaim, dan reproduksi segala sesuatu tentang kehidupan perempuan adat dan wilayah adatnya.

Devi juga menyampaikan potret perubahan dan kehilangan yang dialami perempuan adat terhadap tanah dan sumber daya alamnya. Menurutnya, kehilangan yang dialami oleh perempuan adat ini terjadi karena belum adanya aturan mengenai hak kolektif perempuan adat. Melalui gerakan solidaritas ini, perempuan harusnya bisa mendorong kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, dan berkelanjutan diwujudkan melalui tahapan perubahan sebagai berikut :

  1. Legalisasi formal atas pengetahuan kolektif Perempuan Adat (Pengetahuan Tradisional) melalui regulasi yang tersedia dan instrumen di tingkat lokal Kampung-Desa yang tertanam dalam praktik kehidupan sehari-hari di masyarakat;
  2. Mewujudkan kemandirian ekonomi Masyarakat Adat untuk mendukung agenda-agenda Perempuan Adat, maka perlu memperkuat aksi kolektif Perempuan Adat di komunitas untuk mengelola berbagai potensi ekonomi dari sumber daya alam di wilayah adat sebagai sumber kehidupan dengan perspektif keadilan gender.
  3. Mendorong Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang berperspektif gender.

Narasumber terakhir; Ruth Indiah Rahayu. Dalam pidatonya, Ruth menyampaikan hal terkait Sejarah Perjuangan Perempuan dan Perayaan IWD. Pertama, International Women’s Day (IWD) merupakan perayaan untuk memperingati titik awal perjuangan perempuan di Eropa yang melakukan protes dan perlawanan terhadap proses industrialisasi yang memarginalkan perempuan. Proses industrialisasi ini juga berkaitan dengan imperialisme, sehingga dalam konteks Indonesia, perjuangan perempuan diawali dengan perjuangan atas kebebasan dan kemerdekaan dari kolonialisme.

Namun, perjuangan perempuan Indonesia yang diperingati pada tanggal 22 Desember setiap tahun, mengalami peyorasi yang terjadi akibat menguatnya kekuasaan orde baru. Sehingga saat itu, perjuangan perempuan berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik. Dan akhirnya, gerakan perempuan di Indonesia kembali menguat pada awal era reformasi. Pada era reformasi, isu dalam gerakan perempuan semakin variatif, namun juga terfragmentasi dalam gerakan berbasis isu.

Konferensi kemudian dilanjutkan dengan sesi Self story. Pada sesi ini, peserta dipandu oleh Titiek Kartika untuk mengekspresikan dan membagikan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memperjuangkan hak-haknya. Fasilitator meminta peserta untuk menggambarkan ‘wajah dirinya’ dan harapan mereka dalam bentuk gambar, warna atau coretan. Setelah sesi Self Story langsung dilanjutkan dengan Story Telling Masing-masing peserta perwakilan komunitas lokal dan Organisasi menjelaskan makna dari gambar wajah yang mereka tulis. Sebagian besar bercerita bagaimana bentuk perjuangan yang sedang mereka lakukan di masing-masing Desa mereka. Diskriminasi, kekerasan seksual, dan berbagai bentuk upaya menghambat hak yang mereka terima dan tertuang dalam gambargambar yang menarik dan penuh warna.

Hari kedua, konferensi dilanjutkan di Galeri 6 Cemara. Acara dibuka dengan penyampaian situasi di masing-masing daerah dalam konteks krisis ekologi, ketidakadilan pembangunan dan apa yang dilakukan perempuan untuk melawannya. Presentasi ini disampaikan oleh Jois dari ASM Law Office yang bercerita bagaimana lembaganya mendampingi Komunitas Adat Talang Mamak; suku asli di Riau yang berhadapan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan juga turut menceritakan bagaimana di Pekanbaru kelompoknya mengadakan 16 HAKTP untuk berkumpul dan berdiskusi mengangkat isu perempuan.

Selanjutnya dari Komunitas lokal ada Setri dari Suku Bajo. Setri menceritakan bagaimana tantangannya sebagai perempuan yang lahir dari lingkungan yang berpendapat bahwa pendidikan kaumnya terbatas hanya di tingkat SD/SMP saja. Hal ini juga berkaitan dengan tingginya angka kekerasan rumah tangga akibat faktor ekonomi dan berbagai masalah beruntun lainnya karena pola pikir SDM dan SDA yang belum terkelola dengan baik. Setri menyampaikan harapannya mengenai adanya aksesibilitas yang dikhususkan untuk perempuan dan terlibat secara bermakna dalam proses pengambilan keputusan.

Setelah sesi mendengar cerita dari komunitas lokal dan NGO, dilanjutkan dengan sesi yang menghadirkan penyampaian beberapa narasumber. Narasumber pertama di hari kedua adalah Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, MA. Dalam presentasinya, beliau membahas tentang perlindungan sosial bagi perempuan dalam konflik sumber daya alam.

Dia menyimpulkan bahwa pengentasan kemiskinan melalui berbagai pembangunan pembangunan (kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lingkungan hidup) harus terintegrasi dengan pembangunan hukum. Dan pembangunan hukum tersebut haruslah memiliki perspektif perempuan untuk mencapai perubahan sosial yang lebih baik. Hukum, harusnya menjadi alat bagi gerakan perempuan untuk melawan penindasan.

Selanjutnya, sesi berbagi dengan Dr.rer.net Rina Mardiana S.P.,M.Si yang membahas topik terkait perempuan dalam pusaran konflik agraria. Dalam presentasinya Rina menggambarkan posisi perempuan dalam setiap konflik agraria yang selalu menjadi korban dari konflik.

Selain kriminalisasi, perempuan juga mengalami beban ganda; yang semasa konflik harus tetap menanggung beban domestik, sendiri. Sehingga, perempuan yang berada dalam pusaran konflik agraria cenderung tidak bisa mengembangkan kapabilitas dirinya.

Sesi terakhir konferensi hari kedua ini adalah menyusun dokumen agenda dan tuntutan perempuan kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Hari Ketiga Konferensi Perempuan Berbagi (Khusus KOMNAS HAM dan KOMNAS PEREMPUAN)

Jumat, 1 Maret 2024 Akar Global Inisiatif bersama dengan 40 orang perempuan perwakilan komunitas adat dan komunitas lokal beserta 12 NGO se-Indonesia melakukan audiensi kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Audiensi ini merupakan rangkaian kegiatan Konferensi Perempuan Berbagi (28- 29 Februari 2024) yang bertujuan untuk memperkuat soliditas gerakan perempuan untuk berbagi pembelajaran untuk memperkuat gerakan dan solidaritas perempuan menghadapi ketidakadilan pembangunan dan krisis ekologi.

Audiensi pertama yang dilakukan di Komnas HAM dimulai pada pukul 10.43 – 11.30 dan diterima oleh Komisioner Pengaduan yakni Hari Kurniawan dan Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM; Anis Hidayah. Sementara audiensi kedua dilakukan kepada Komnas Perempuan pada pukul 14.01 dan diterima oleh Ketua Komisioner Komnas Perempuan Andi Yetriani, Komisioner Pemantauan dan Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinekaan Dewi Kanti Setianingsih dan Komisioner Partisipasi Masyarakat Veryanto Sitoh.

Dalam dua kegiatan audiensi ini, peserta membawa, menyampaikan dan menitipkan agenda serta tuntutan perempuan adat dan komunitas lokal yang dirumuskan bersama-sama sebagai berikut:

  1. Hentikan kriminalisasi, intimidasi dan diskriminasi bagi semua perempuan pejuang keadilan.
  2. Hentikan seluruh aktivitas Industri Ekstraktif yang merugikan perempuan, merusak ruang hidup (alam) dan menghancurkan sumber penghidupan dan kehidupan perempuan adat dan lokal.
  3. Kembalikan hak perempuan adat dan lokal atas sumber daya alamnya.
  4. Kembalikan akses perempuan adat dan lokal dalam mengelola Sumber Daya Alamnya.
  5. Mendesak pemerintah untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan terkait tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan, berkelanjutan dan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1984 (CEDAW) dan Konvensi 167 tentang Masyarakat Adat.
  6. Mendesak pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait tata kelola sumber daya alam.
  7. Meminta Komnas Perempuan dan Komnas HAM untuk menjadikan tuntutan dan agenda perempuan di atas sebagai mandat kepada pemerin.

Selain membacakan tuntutan di atas, beberapa peserta audiensi menyampaikan suaranya sebagaimana berikut:

  • Hotma Pangabean, Komunitas Perempuan Adat Natumingka kami meminta bantuan kepada komnas HAM, karena pemerintah tidak pernah mengakui kami sebagai masyarakat adat. Tolong ringankan beban kami. Selama ini tidak ada tempat pengaduan kami. Masalah masyarakat adat di Natumingka adalah tanah adat kami di klaim oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL). Konflik ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Kami di intimidasi oleh pihak perusahaan. Kami perempuan adat juga pernah di culik. Kami selalu takut, tidak bisa mengelola lahan pertanian dan bertani di lahan kami. Kami khawatir lahan kami dirusak oleh pihak perusahaan. Mereka selalu beradu fisik dan melakukan penanaman paksa di atas tanah adat kami.
  • Marlena, Forum Petani Bersatu – Seluma. Kami sudah melakukan pengaduan kepada pemerintah melalui KSP namun sampai saat ini aduan kami tidak ditanggapi. Konflik yang terjadi di wilayah adat kami diakibatkan kehadiran PT Sandabi Indah Lestari (SIL) yang menyebabkan kami miskin dan tidak memiliki hak bahkan akses ke wilayah perkebunan kami. Kami meminta aduan kami segera di proses oleh Komnas HAM, karena konflik ini terjadi sudah sangat lama.
  • Rapini Tanjung,Kelompok Petani Bundo Kanduang, Pasaman Barat. Sudah belasan tahun kami memperjuangkan lahan kami, tapi sampai sekarang belum ada titik terang dari pemerintah. Kami juga telah mengirim surat kepada KSP. Sehingga kami bergabung dengan kelompok perempuan lainnya untuk berjuang bersama. Anak saya hampir di perkosa umur 4 tahun dan sampai sekarang mengalami trauma. Musholla kami di bakar oleh PMD. Saya pernah di tembak. Ibu saya meninggal akibat dari konflik ini. Sekarang saya meminta kepada pemerintah disini untuk tolong kami, kami sudah tidak tahan lagi sekian tahun menahan ini.

Respon Komnas HAM terhadap agenda, tuntutan dan aspirasi peserta dalam proses audiensi pertama ini sebagai berikut:

Tugas Komnas HAM adalah memastikan situasi HAM yang kondusif. Dan di antara hak asasi itu adalah hak perempuan. Oleh karenanya, Komnas HAM menyambut baik aspirasi, dan proses audiensi yang dilakukan. Dari 7 isu/tuntutan yang di sampaikan oleh peserta, kiranya ada 4 hal yang berkaitan dengan tugas komisioner di Komnas HAM yakni;

  1. Perlindungan pembela HAM Perempuan dan menjadi 1 dari 9 agenda prioritas. Karena Komnas HAM sadar bahwa perempuan pembela HAM di akar rumput rentan mengalami konflik dan rentan dikriminalisasi; kurang lebih ada 19 bentuk ancaman kekerasaan yang mungkin dihadapi perempuan.
  2. Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada November 2022 telah bersepakat untuk membuat mekanisme respon cepat bersama. Ini merupakan salah satu bentuk upaya pembelaan dan perlindungan bagi perempuan atau laki-laki yang selama ini berjuang mempertahankan lingkungan dan sumber daya alamnya. Komnas HAM dkk siap merespon kasus ini 3×24 jam untuk melindungi dan mendampingi (pendampingan hukum) rekan-rekan pembela HAM dan Komnas Perempuan juga akan memastikan bahwa hak-hak perempuna tidak dilanggar.
  3. Berkaitan dengan sumber daya alam dan agraria, kedua isu tersebut menjadi isu prioritas sebab setiap tahun, menurut laporan komisioner pengaduan Komnas HAM laporan terkait konflik sumber daya alam meningkat bahkan sampai 200% dan sebagian besar konflik ini berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dan setiap tahun Komnas HAM menerima lebih dari 2000 konflik agraria dimana yang berperang di akar rumput adalah perempuan.
  4. Berkaitan dengan isu Perempuan Adat, Komnas HAM pernah buat inkuiri untuk masyarakat adat karena masih terdapat kekosongan hukum untuk perlindungan masyarakat Adat. Sehingga tahun ini Komnas HAM sepakat untuk menyusun standar, norma dan pengaturan tentang perlindungan Masyarakat Adat.
  5. Isu perempuan dan kelompok rentan, menjadi isu yang dikoordinasikan dengan Komnas Perempuan. Komnas HAM dan Komnas Perempuan memiliki kewenangan yang sama dalam memastikan implementasi undang-undang (UU) Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Pada sesi audiensi kedua bersama dengan Komnas Perempuan, perwakilan peserta juga menyampaikan tuntutan yang sama dan beberapa peserta audiensi menyampaikan suaranya sebagaimana berikut :

  1. Setri Pasandre Kelompok Perempuan Sipakullong, Suku Bajo, Gorontalo di desa kami masih banyak kasus pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga dan masih minim sekali ruang bagi perempuan untuk terlibat di dalam pembangunan desa. Sehingga kami bermaksud hadir disini untuk berbagi kekuatan dan keberanian agar kehadiran perempuan lebih dianggap penting.
  2. Susanti, Kelompok Perempuan Petani Kaba Indah Lestari, desa Bandung Jaya, Kepahiang, Bengkulu kami sudah sejak tahun 1954 berkonflik dengan kehutanan, sudah banyak korban dari konflik ini. Saat ini, meskipun kami sudah mengantongi izin untuk bisa mengelola kawasan hutan tersebut, kami masih merasa takut dan terancam. Sebab izin ini tidak memulihkan hak kami. Akses yang kami dapatkan untuk bisa mengelola lahan hanya sementara, sekitar 10 tahun. Jadi kami berharap, melalui forum ini kami dapat memulihkan hak kami dan mendapatkan akses untuk mengelola kawasan hutan tersebut.
  3. Dinar, Akar Global Inisiatif, Bengkulu sebagian besar peserta adalah korban konflik agraria, dan sebagian besar lain konflik ini berada di anatra komunitas adat/lokal yang berhadapan dengan perusahaan perkebunan dan tambang dan sebagian lagi masih terancam dengan klaim-klaim negara seperti klaim negara terhadap sumber daya alam. Ada dua konsen kami, (1) pengakuan hak, baik itu hak masyarakat adat maupun komunitas lokal untuk mebgelola SDAnya. (2) Masih kurangnya akses yang lapang bagi komunitas utk mengoptmasilisasi SDA. Sehinngakami pikir, MA sudah sangat percaya diri dan tidak ada alasan lagi untuk tidak bilang bahwa itu adalah miliki leluhur mereka. Tetapi ketika dihadapkan demgan hukum negara kita, hak mereka menjadi tidak efektif di mata huku. Kami capek berjuang berpuluh-puluh tahun, berdarah-darah, bahkan ada anaknya umur 4 th yang di perkosa oleh kaki tangan perusahaan, 40 orang petani di tahan, terlahir sebagai anak maling karena hak nya tidak di akui oleh negara. Dengan ini, kami mau ajak teman-teman komnas pr untuk berjuang bersama kami, berada disisi kami dan memperbaiki sistem yang sudah kacau balau ini. Cara nya seperti apa ? apa tidak sebentar saja berhenti melukai kami (menangis). Cerita teman-teman kemaren lebih tragis, saya disini hanya membasuh. Kami kemarin juga di dampingi oleh para ahli, seperti Sulistyowati Irianto, Rina Mardiana, Mia Siscawati dll, kami mimiliki visi yang sama untuk menjawab pertanyaan bagaimana kami memulihkan kondisi kami yang sudah hancur akibat konflik.

Berikut respon dari Komnas Perempuan:

  1. Sejak tahun 2019 Komnas Perempuan telah banyak menerima pengaduan terkait konflik sumber daya alam. Dalam laporan tersebut menunjukan bahwa perempuan menjadi korban dan penerima dampak (negatif) langsung dalam setiap konflik sumber daya alam. Dan sejauh ini respon Komnas Perempuan terkait konflik SDA ini adalah dengan melakukan pemantauan langsung di lapangan. Namun, tidak semua konflik dapat di tindak lanjuti dengan mekanisme pemantauan.
  2. Komnas Perempuan melihat bahwa tuntutan yang disampaikan oleh perempuan dan hasil konferensi ini sudah berada dalam platform yang sama dengan Komnas Perempuan; yakni fokus pada kekerasan terhadap perempuan yang berada dalam pusaran konflik sumber daya alam, baik antara komunitas dengan perusahaan maupun komunitas dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Konflik ini tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga telah merusak lingkungan dan sumber daya alam.
  3. Ada celah kebijakan yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong pengakuan dan perlindungan komunitas adat; yakni rancangan undang-undang terkait masyarakat adat.
  4. Meskipun saat ini prosesnya berjalan lambat, Komnas Perempuan juga melakukan upaya hukum untuk memastikan bahwa RUU MHA segera di sahkan. Komnas Perempuan bekerja dan melakukan upaya untuk membantu komunitas melalui kegiatan pendokumentasian, pengaduan bahkan strategi lobby kepada para pihak yang terlibat dalam konflik.
  5. Komnas Perempuan meminta komunitas perempuan untuk tidak hanya mengirimkan surat aduan, tetapi juga bersama Komnas Perempuan memantau perkembangan surat aduan tersebut. Dan di dalam surat aduan, haruslah dijelaskan sedetil mungkin kejadian yang merugikan perempuan agar hal tersebut bisa menjadi senjata bagi komnas perempuan untuk melakukan intervensi kepada pemerintah.
  6. Kita akan penuhi meja-meja pemerintah dengan surat-surat kita. Ini adalah bagian dari strategi kampanye yang harus kita lakukan agar pemerintah segera memberikan perlindungan bagi perempuan dan yang pasti menyelesaikan konflik-konflik agraria ini sesegera mungkin.

Peserta Konferensi:

  1. Kaba Indah Lestari (KIL)
  2. Perempuan Adat Tanah Rejang
  3. Kelompok REMIS Perempuan Nelayan
  4. Forum Petani Bersatu
  5. Serikat Petani Pejuang Bumi Sejahtera
  6. Taji Talang Parit
  7. Kelompok Perempuan Tesso Nilo
  8. Bundo Kanduang
  9. Komunitas Perempuan Adat Lamtoras Sihaporas
  10. Komunitas Perempuan Adat Dolok Parmonangan
  11. Komunitas Perempuan Adat Natumingka
  12. Komunitas Perempuan Adat Dayak Agabag
  13. Komunitas Sipakullong Suku Bajo
  14. Kelompok Wanita Tani RANOLO’O SATOJOTO
  15. Yayasan Akar Global Inisiatif
  16. JAPESDA
  17. Yayasan Ulayat Nagari Indonesia
  18. Yayasan Tananua
  19. Yayasan Planet Indonesia
  20. Yayasan Kehutanan Masyarakat Lestari
  21. Yayasan Kalyanamitra
  22. WALHI ED Bengkulu
  23. Green of Borneo
  24. ASM Law Office
  25. Yayasan Progress
  26. Forest People Programme

Editor | Bima Setia Budi