RUU MHA Untuk Melindungi Perempuan Adat Dalam Mengelola Hutan

Caption: Perwakilan The Asia Foundation (TAF) Indonesia, Margaretha Tri Wahyuningsih dalam acara Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA), Rabu 25 Mei 2022
Caption: Perwakilan The Asia Foundation (TAF) Indonesia, Margaretha Tri Wahyuningsih dalam acara Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA), Rabu 25 Mei 2022

Infonegeri, Jakarta – Perwakilan The Asia Foundation (TAF) Indonesia, Margaretha Tri Wahyuningsih menyampaikan bahwa konflik pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang paling banyak melibatkan masyarakat adat.

Hal tersebut disampaikan Margaretha saat memberi catatan penutup dalam Webinar Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang bertajuk Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/5/2022).

“Bagi kelompok masyarakat adat bagaimana lahan wilayah adat itu sambil menunggu realisasi regulasi penting untuk menjaga wilayah kita agar tidak diserahkan kepada korporasi,” tutur Margaretha.

Margaretha menjelaskan ketika lahan sudah diserahkan atau diambil oleh korporasi dan dijadikan HGU, maka proses pengembaliannya akan susah.

“Kalau sudah diserahkan kepada HGU maka proses kembalinya itu susah. Kita berharap RUU ini bisa segera hadir dan semakin memperkuat advokasi bagi kelompok masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya,” tuturnya.

Margaretha menegaskan jika tanpa peran perempuan dalam mempertahankan wilayah adatnya akan ada kekosongan dalam mengelola hutan dan lahan secara berkelanjutan.

“Perempuan juga mempunyai tanggung jawab dalam memastikan kelestarian hutan dan memastikan lahan ditanami. Pola kerja seperti itu sebenarnya sudah mengakomodir yang didiskusikan dalam pembagian kerja sehingga bisa lebih adil dan setara bagi kelompok perempuan,” jelasnya.

Ia merinci, peta perhutanan sosial yang dicanangkan pemerintah yaitu seluas 12,7 juta hektar lahan, sementara skema hutan adat baru ada 76.156 hektar atau tidak sampai 10 persen dari capaian perhutanan sosial.

“Ini menjadi konsen bersama, kita tahu bahwa kelompok masyarakat adat juga yang cukup mayoritas dalam mengelola wilayah adat mereka untuk turut serta menjaga perubahan iklim maupun emisi. Ini menjadi konsen kita dalam gerakan ini,” jelasnya.

Margaretha menegaskan, pentingnya RUU MHA terhadap masyarakat adat adalah untuk melindungi mereka dari kriminalisasi yang kerap dilakukan oleh perusahaan untuk menjerat lahan yang diinginkannya.

“Pentingnya RUU MHA yaitu agar perempuan adat dalam mengelola hutan tidak dikriminalisasi oleh perusahaan,” tegas Margaretha.