Sudah Tepatkah Memperpanjang PPKM Darurat?

Caption foto: Presiden RI, Joko Widodo (foto/dok: BPMI Sekretariat Presiden)

Infonegeri, JAKARTA – Presiden Joko Widodo resmi memperpanjang kembali PPKM Darurat hingga 25 Juli 2021. Hal tersebut sebenarnya, banyak pihak tak setuju. Kebanyakan dari kalangan pengusaha yang sudah lama meronta-ronta. Tapi, enggak sedikit juga dari kalangan masyarakat.

Ketidaksetujuan tersebut di karenakan pemerintah membatasi, tapi tak mau mencukupi kebutuhan Masyarakat agar tak keluar rumah. Epidemiolog dari Universitas Indonesia Hermawan Saputra mengakui PPKM Darurat memang banyak bolongnya.

Seperti dilansir dari narasi.tv, Rabu (21/07) salah satunya tentang jaminan kebutuhan dasar masyarakat tadi. Memang ada pembagian bansos dari pemerintah, namun itu tak dicantumkan secara resmi dalam aturan PPKM Darurat. Alhasil, implementasinya enggak terukur jelas.

Buktinya, realisasi bansos masih acak adul alias banyak yang belum dapat bansos di saat PPKM Darurat sudah berakhir. Hermawan sendiri bilang “pemerintah enggak perlu memperpanjang PPKM Darurat karena alasan itu. Juga karena PPKM Darurat hanya sebatas instruksi menteri.”

Kedudukan itu menjadikannya lemah secara hukum. Makanya, Hermawan lebih menyarankan pemerintah kembali ke Undang-Undang Kekarantinaan. “Sebab, ia dibuat oleh DPR dan presiden, sekaligus telah melewati kajian dan uji publik sehingga kedudukannya secara hukum sudah jelas.”

Memangnya kenapa, harus mempermasalahkan hukum? Soalnya, ini berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah. Ketua Umum YLBHI, Asfinawati sendiri menuding pemerintah gonta-ganti nama pembatasan biar terhindar dari kewajiban pemenuhan dasar masyarakat.

Ia juga mempertanyakan pemerintah yang memakai sanksi bagi pelanggar dengan UU Kekarantinaan, sementara pelaksanaannya tak mengacu UU tersebut. Dalam aturan itu pun, kata Hermawan, kebutuhan dasar seperti kesehatan, pangan, dan kebutuhan sehari-hari telah terjamin.

“Jadi, enggak ada alasan pemerintah berkilah enggak mau gelontorkan uang buat bansos warga. Masa warga terus yang saling bantu, pemerintah ngapain, aja?”

Kalau merujuk ke dua alasan itu (kedudukan hukum dan kewajiban bansos), kebijakan yang paling sesuai, lockdown atau PSBB. Kata Hermawan, “PSBB punya peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2020. Ia juga punya kewajiban memperkuat ekonomi lemah.”

Tujuan pemberlakukan lockdown hanyalah satu: biar penularan Corona yang disumbang varian Delta enggak menyebar luas. Masih di Pulau Jawa saja masyarakat sudah kewalahan. “Enggak kebayang, kan, kalau kegentingan yang sudah kita saksikan selama ini terjadi di seluruh Indonesia?”

Kabar buruknya, keadaan di luar Jawa sudah memasuki masa kritis. Delapan kasus Corona akibat varian Delta sudah terdeteksi di Kalimantan Utara. Dari hasil whole genome sequencing (WGS) Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbangkes) Kemenkes, delapan dari 12 spesimen positif varian Delta.

Itu masih belum seluruhnya. Dinas Kesehatan Kaltara mengirimkan 32 spesimen yang artinya 20 spesimen lainnya belum terdeteksi. Juru Bicara Satgas COVID-19 Kaltara Agust Suwandy bilang, lonjakan kasus akibat COVID-19 memang semakin masif akhir-akhir ini.

Katanya, “selama Juli 2021, ada 3.269 kasus positif dan 48 kematian di Kaltara. Varian Delta memang sudah pernah terdeteksi di Kalimantan pada 20 Juni lalu, namun itu masih di Kalimantan Timur dan Tengah. Per Minggu (18/07) saja, Kaltim mencapai 1.514 kasus dalam sehari.”

Hal serupa juga terjadi di Merauke, Papua. Dari 12 sampel yang dikirim ke Litbangkes, 10 di antaranya adalah varian Delta. Bisa jadi, adanya varian Delta menyebabkan kelangkaan oksigen di Papua dan Papua Barat. Iya, krisis oksigen sudah merambat ke sana.

Juru Bicara Satgas COVID-19 Papua, dr. Silwanus Sumule bilang, enggak ada masalah dengan produksi. Hanya saja, kebutuhan semakin meningkat. Silwanus sendiri meminta pemerintah kabupaten/kota buat memperhatikan pasokan oksigen karena kebanyakan rumah sakit yang ada merupakan milik pemerintah.

Bahkan, Gubernur Papua, Lukas Enembe bilang masyarakat harus mempersiapkan diri untuk lockdown selama sebulan mulai Agustus. Saat itu juga, segala akses keluar masuk ke Papua, mulai dari penerbangan hingga perairan akan ditutup. [Andara Rose, narasi.tv]