Infonegeri, JAKARTA – The Asia Foundation (TAF) menyebut pihaknya berkomitmen untuk mendorong terwujudnya kesetaraan gender dalam pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Country Representative TAF Indonesia Sandra Hamid dalam webinar bertajuk Agenda Pasca Pencabutan Izin: Memperkuat Ruang Kelola bagi Perempuan Indonesia, Rabu (2/2).
Ia menjelaskan, dalam setiap konflik Sumber Daya Alam (SDA) pihak yang paling dirugikan adalah perempuan.
Dengan mengutip penelitian Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Kalimantan Timur (Kaltim) Haris Retno, Sandra menyampaikan bahwa pertambangan berkaitan erat dengan hilangnya mata pencaharian kelompok perempuan.
Sebab banyak pertambangan di Indonesia telah merenggut lahan-lahan pertanian yang menjadi garapan mereka.
Akibatnya, perempuan-perempuan di tingkat tapak dipaksa untuk menggantungkan dirinya secara ekonomi pada pihak-pihak lain.
“Mereka akhirnya harus bergantung pada orang tua, saudara laki-laki, dan suami. Tambang menyebabkan berkurangnya lahan pertanian yang bisa digarap kelompok perempuan,” jelasnya dalam diskusi yang dimoderatori oleh Grita Anindarini ini.
Untuk mendukung argumennya, Sandra mengutip rilis dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur dan menegaskan bahwa pengangguran di Kaltim didominasi oleh kalangan perempuan.
Partisipasi perempuan adalah masa depan
Di waktu bersamaan, lanjut Sandra, perempuan memiliki potensi yang luar biasa untuk masa depan pengelolaan SDA di Indonesia. Ia berpendapat, partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan dan lahan bisa mendorong keberlanjutan hutan dan menekan jumlah diskriminasi gender.
“Partisipasi perempuan mampu mengurangi kesenjangan dan diskriminasi berbasis gender,” ungkapnya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Gender Focal Point (GFP), Beritabaru.co, dan TAF ini.
“Dan ini bukan sekadar teori, pasti akan terjadi perbaikan ketika perempuan diberi kepercayaan tersebut. Ini telah ditunjukkan oleh kelompok LPHK Damar Baru Aceh, 4 KPPL di Rejang Lebong, Bengkulu, serta kelompok perempuan di Fakfak Papua Barat,” imbuhnya.
Lebih jauh, Sandra juga memaparkan hasil penelitian TAF terhadap sekitar 1800 kepala keluarga dari berbagai provinsi di Indonesia pada 2018 tentang keterlibatan perempuan dalam Perhutanan Sosial (Perhutsos).
Riset tersebut, tegasnya, menemukan bahwa ketika perempuan terlibat dalam pengelolaan hutan dan lahan, dampaknya bisa menjangkau tiga aspek sekaligus yaitu peningkatan ekonomi keluarga, pengelolaan hutan yang lebih baik dalam kaitannya dengan komunitas, dan kesetaraan berbasis gender yang semakin kuat.
“Jadi, ini semua bukan sekadar ideologi anti-ketimpangan atau keinginan untuk menghadirkan hak untuk perempuan, tapi berbasis bukti bahwa memang saat perempuan terlibat, kita semua akan mendapatkan manfaat,” terangnya.
Di atas semua, Sandra mengatakan bahwa diselenggarakannya webinar yang dihadiri oleh Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra ini merupakan sebentuk upaya untuk menindaklanjuti kebijakan presiden tentang pencabutan izin tambang di awal 2022 kemarin.
“Kita ingin mengambil momentum ini dan tidak ingin kebijakan di atas berhenti di tataran administrasi melainkan harus kita dorong bersama-sama agar menjadi agenda pemulihan yang komprehensif biar menjadi jalan terwujudnya sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan di Indonesia,” pungkasnya.
Webinar ini dihadiri pula oleh narasumber-narasumber dari para perempuan pemimpin, meliputi Ester Bolango anggota Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Desa Malitu, Kec. Poso Pesisir Selatan, Kab. Poso, Sulawesi Tengah; Asmia anggota LPHD Damaran Baru, Bener Meriah, Aceh; Suin dari Hutan Kemasyarakatan Hutan Lindung (HKm HL) Sungai Wain Kelurahan Karang Joang, Balikpapan, Kalimantan Timur; dan Kachyani anggota LPHD Desa Pangkalan Gondai. Kab. Pelalawan, Riau.
Adapun para penanggap antara lain, Suyus Windayana, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN); Nasrun, perwakilan Ombudsman RI di Sulawesi Tengah; dan Haris Retno, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur.
Webinar yang merupakan bagian dari Festival Ibu Bumi yang dibuka sejak Desember 2021 dan akan berlangsung sampai April 2022 ini dipandu oleh Sartika Dewi, dan ditutup oleh Director of Environmental Governance Unit TAF Indonesia Lili Hasanuddin.
Editor: Soprian Ardianto