Demi Tunda Pemilu, Big Data vs Konstitusi Diadu

Oleh : Elfahmi Lubis

“Tidak ada perbaikan besar dalam banyak umat manusia yang mungkin terjadi, sampai perubahan besar terjadi menggantikan konstitusi dasar dari cara berpikir mereka.” (John Stuart Mill)

Konstitusi itu  berfungsi sebagai penentu dan pembatas kekuasaan organ negara, mengatur  hubungan kekuasaan antar organ negara, mengatur  hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga negara, dan sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.

Dalam konteks sirkulasi kekuasaan negara, konstitusi mengatur bagaimana proses pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah itu dilakukan lewat proses Pemilu yang demokratis, jujur dan adil. Bahkan, dalam konstitusi telah ditegaskan secara rigit masa waktu proses Pemilu itu dilakukan. Untuk presiden/wakil presiden dan kepala daerah dibatasi hanya selama 2 (dua) periode kepemimpinan saja. Dengan demikian tidak ada ruang bagi siapa pun untuk mengutak-atik konstitusi untuk melanggengkan syahwat kekuasaan menggunakan cara-cara inkonstitusional. Kalaupun itu mau dilakukan, silakan gunakan mekanisme atau kanal resmi yang sudah disediakan dalam konstitusi.

Mengutip Prof. Yusril Ihza Mahendra, ada tiga pilihan konstitusional yang bisa dilakukan untuk menunda Pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden. Yakni, pertama lewat perubahan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan menambahkan pasal baru dalam UUD 45 yang terkait dengan pemilu. Dimana pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma “dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu”.

Selanjutnya dalam Ayat 8, mengatur semua jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam UUD, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum. Dengan penambahan dua ayat tersebut dalam Pasal 22E UUD 1945, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Kedua, cara yang bisa ditempuh adalah presiden mengeluarkan dekrit penundaan Pemilu 2024. Hal tersebut juga sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu. Walaupun kita tahu bahwa dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah. Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar atau pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.

Ketiga, cara yang bisa ditempuh adalah menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention. Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi UUD 1945, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.

Pertanyaannya, ketiga pilihan yang tersedia itu tidak sedikit pun menyinggung soal big data sebagai alasan untuk menunda Pemilu. Karena di negara demokrasi aspirasi rakyat itu tidak diukur melalui percakapan “liar” di media sosial, tapi sudah disediakan saluran resmi sebagai pengejawantahan aspirasi rakyat melalui proses Pemilu yang demokratis. Selain itu ketiga opsi ini bukan tanpa resiko. Skenario terburuk yang bakal terjadi adalah munculnya tindakan “pembangkangan” rakyat secara massif melawan pemerintah karena dianggap sengaja  “merongrong” konstitusi untuk tujuan melanggengkan kekuasaan. Hal yang paling ditakutkan adalah akan terjadi konflik politik yang akan berakhir pada konflik sosial. Jika kondisi terjadi, terlalu mahal kerugian yang harus dibayar oleh bangsa ini,.dan ini bisa mengancam disintegrasi bangsa.

Terkait soal wacana penundaan Pemilu, teranyar adalah soal klaim big data kira-kira meng-grab 110 juta orang sebagai data aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan penundaan Pemilu 2024. Hal ini disampaikan langsung olen Menteri Koordinator, Luhut Binsar Panjaitan melalui kanal YouTube deddy corbuzier. Kontan saja, pernyataan Luhut ini menimbulkan kontroversi di publik dan menuai reaksi beragam. Intinya, publik melihat ada upaya serius untuk menunda Pemilu lebih dari sekedar wacana selama ini. Walaupun klaim big data ini sangat lemah secara metodologis dan yuridis, bahkan sudah dibantah banyak pihak, sebagai.sebuah “tes ombak” menunjukkan bahwa ada gejala serius dari bangsa ini dalam berkonstitusi.

Pada tulisan saya sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa ide penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, kembali ramai dicakapkan di ruang publik. Mungkin nalar dan logika berhukum dan berkonstitusi kita sedikit  terganggu dengan ide dan gagasan ini, karena tidak memiliki dasar argumentasi yuridis sedikit pun. Tapi anehnya belakangan ini banyak elit seperti terkena syndrome amnesia dan  gejala “insubordinasi” berkonstitusi (meminjam istilah dunia militer) atau memang sengaja gagasan ini dilontarkan untuk mengukur sejauh mana mendapat legitimasi rakyat.

Apa yang harus dilakukan? Kita berharap agar wacana penundaan Pemilu ini disudahi, mari kita taat dan tunduk pada konstitusi, yang sudah mengatur siklus Pemilu dilaksanakan selama 5 (tahun sekali).