Sejarah Tsa-Lu (Talo) Abad ke-IX Hingga ke-XI M (875 -1013 M) Pusat Industri Kapal

Ilustrasi lukisan kapal juang Jawa (Foto/dok: Kaskus)

Berbagai teori Sosiologi – antropologi – arkeologi telah mengajarkan kepada kita bahwa, “Peradaban manusia itu selalu berawal dari kehidupan sekelompok manusia dipesisir pantai atau sungai. Selanjutnya berkembangan menjadi komunitas masyarakat yang semula homogen, lalu berubah menjadi heterogen,” dalam suatu masyarakat yang lebih besar berbentuk bangsa (Nasional), dan berkembang menjadi antara bangsa-bangsa (Internasional).

Kehidupan sekelompok manusia, yang semula terdiri dari dua orang atau lebih itu, telah melahirkan kebudayaan. Baik berupa material (Benda) maupun non material (Rohani). Peradaban dalam fase-fase perkembangan kehidupan manusia dengan segala pemanfaatan secara maksimal, baik jasmani maupun rohani dengan lingkungan alam disekitarnya inilah yang melahirkan berbagai aspek Kebudayaan.

Soekmono dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia mengatakan, segala ciptaan manusia ini, yang sesungguhnya hanyalah hasil usahanya untuk mengubah dan  memberi bentuk serta susunan baru kepada pemberian Tuhan sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya, itulah yang dinamakan kebudayaan. Maka pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai dua segi, bagian yang tak dapat dilepaskan hubungannya satu sama lain. yaitu :

Segi kebendaan, yang meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasil-hasil ini dapat diraba. Segi kerohanian, terdiri atas alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur. Kebudayaan tak dapat diraba, hanya penjelmaannya saja yang dapat difahami dari keagamaan, kesenian, kemasyarakatan dan sebagainya.  

Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang erat sekali. Tak mungkinlah kedua-duanya itu dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, ialah manusia.

Akan tetapi manusia itu hidupnya tak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari satu turunan. Dengan lain perkataan harus diteruskan kepada orang-orang disekitarnya, anak cucu serta keturunan selanjutnya.

Cara meneruskan kebudayaan demikian luasnya itu, dimungkinkan oleh karena manusia dikaruniai pula dengan kepandaian berbicara. Bahasa adalah alat perantara yang terutama sekali bagi manusia, alat yang tak ada pada binatang. Menurut Soekmono, suatu kebudayaan hanyalah dapat ditelaah, jika kebudayaan itu telah mencapai kebulatan dan bentuk yang nyata.

Harta-harta peninggalan itu meliputi seluruh usaha manusia. Akan tetapi yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sebagian kecil sekali saja dari padanya, yang selebihnya telah kenyap tiada berbekas. Peninggalan-peninggalan kebudayaan kebendaan dapat langsung kita teliti dan selidiki, oleh karena berwujud dan dapat diraba.

Sebaliknya peninggalan-peninggalan kerohanian, seperti alam fikiran, pandangan hidup, kepandaian bahasa dan sastra, dan banyak lagi lainnya, hanyalah dapat kita tangkap jika kita berhubungan dengan para pemilik dan pendukungnya. Oleh karena kita tidak lagi dapat berhadapan dengan orang-orang dahulu kala, maka harta kerohaniannya itu hanya dapat kita kenal, jika telah dituliskan dan tulisan-tulisan itu sampai kepada kita.

Sejarah negeri Tsa-Lu (Talo) telah sampai pada tingkat kebudayaan. Sebagaimana yang penulis sebutkan sebelumnya, yaitu aspek kebendaan dan aspek kerohanian. Peninggalan kebendaan maupun kerohanian itu cukup banyak. Diantaranya adalah:

Pertama, ada suatu kepercayaan di masyarakat Tsa-Lu, dan juga berlaku bagi pendagang masa itu, bahwa setiap pengacau (Perusak) akan mati diterkam harimau (Kutukan). Mereka yang tidak membayar atau menyerahkan sebagian keuntungannya (Laba) juga dinilai sebagai pengacau. Rasa takut yang berlebih-lebihan ini, telah membuat kepatuhan penduduk di negeri Tsa-Lu atau yang juga sering disebut dengan Negeri Hu Men-t.

Kedua, berbagai catatan klasik pelaut menyebutkan, gadis Tsa-lu tidak saja cantik rupawan alami, tetapi juga anggun bila berdandan. Gadis-gadis ini keluar beramai-ramai (Dipekarangan rumah) pada setiap bulan purnama dengan membawa Lampion (Lentera).

Biasanya berlangsung selama tujuh hari. Tiga hari sebelum bulan purnama dan tiga hari sesudah bulan purnama, kegiatan seperti ini menurut mereka menyongsong bulan purnama. Ada kepercayaan bahwa Dewi Kwan-Im akan muncul pada saat-saat purnama tersebut, maka segala permintaan, keinginan akan terkabul.

Ketiga, telah ada kepercayaan (Keyakinan) masyarakat Tsa-Lu bahwa Gunung Dha-empu (Gunung Dempo) sebagai pusat kekuatan spiritual masa itu.  Keempat, Tsa-Lu dimiliki kesenian kerajinan ukiran (Pemahatan batu dan kayu), dan corak (Motif) yang ditampilkan umumnya masih berbentuk candi, wihara klasik, bunga teratai, burung bangau, binatang rusa, dan dewa-dewa (Penguasa alam gaib) seperti Dewi Kwan-Im (Dewi Sri). Termasuk ukiran harimau dalam bentuk ukiran batu.

Kelima,  masyarakat Tsa-Lu juga telah mengenal budaya ruatan laut (Sedekahan laut) yang dilakukannya pada setiap tahun baru China (Imlek). Keenam, mereka telah pandai membangun Kuil Chia Huwn (Chia Hun) pada tahun 877 Masehi. Selanjutnya juga membangun sebuah Kuil Hu Men-t (Gerbang Harimau atau Pintu Masuk Harimau) sekitar kaki Gunung Dhaempu (Dempo) pada pada Li Pai San (Hari Rabu) Pa-Kaw-Ciu’ (899 M).

“Kuil Hu-Men-t berbentuk terowongan (Lorong) panjang, yang pada setiap sisi jarak antara lima  meter terdapat dua  orang biksu (Shu-Hu) yang saling berhadapan duduk diantara lorong. Jumlah biksu atau shu-Hu atau bhanthi(e) dalam satu jajaran atau garis lorong sembilan  orang. Total biksu atau shu-Hu atau bhanthi(e) yang bertugas dan berada di Lorong kuil seluruhnya berjumlah 18 orang. Dan panjang Kuil Hu-Men-t diperkirakan + 45 meter.”

Para murid-murid lainnya berada di luar kuil (Tidak diperkenankan masuk), kuil Hu-Men-t menghadap ke Matahari terbenam (Barat). Angka 18 (Sh’-Pa) jika dijumlahkan berarti sembilan. Angka sembilan adalah merupakan angka keberuntung atau lambang keberuntungan menurut kepercayaan mereka.

Negeri Jaya  

Negeri Tsa-Lu (Talo) adalah satu-satunya kawasan pesisir barat Pulau Sumatera yang  paling maju dan berkembang pesat. Daerah ini pernah mengalami masa kejayaannya pada Tahun 940 Masehi (Abad ke-X M). Tsa-Lu merupakan daerah pengembangan Industri Kapal layar pada Abad ke-IX Hingga ke-XI M (875 -1013 M) dan penghasil rempah berkualitas tinggi.

Tsa-Lu tidak saja dikenal sebagai pusat industri, tetapi juga sebagai pusat perdagangan. Tsa-lu merupakan satu-satunya daerah penyanggah perekonomian Pulau Enggano atau OCOLORE (Pulau Kecewa) sebagai kawasan transit di wilayah barat Nusantara.

Tsa-Lu dikenal sebagai daerah penghasil rempah berupa adas manis dan vanili berkualitas terbaik. Karena itu, banyak pedagang asing yang berburu rempah dinegeri ini, terutama pedagang yang berasal dari Timur Tengah (Jazirah Arab).

Mereka sangat menyenangi rempah yang berasal dari negeri Tsa-Lu. Bahkan sebagian negeri ada yang menyebut dua  macam rempak berkualitas tinggi itu dengan kata Tsa-Lu saja. Seakan kata Tsa-Lu telah berubah (Indentik) menjadi atau sama dengan nama rempah.

Karena itu, tidaklah mengherankan bila masyarakat Tsa-Lu pada Abad le-X M sudah mengenal sutra China, Gerabah dan tenunan Thailand, selain negeri ini sendiri merupakan daerah penghasil tenunan (Tenun Tsa-Lu) yang kualitasnya masih jauh dibawah tenunan Siam (Thailand). Namun Tsa-Lu juga terkenal sebagai pengembang kebudayaan tradisional, yang banyak dipelajari orang dari berbagai negeri.

Sejarah Negeri Tsa-Lu (Talo) Pusat Industri Kapal Abad ke-IX hingga ke-XI (875-1013 M) ini ditulis dalam bahasa Ilmiah populer, sehingga diharapkan masyarakat dalam segala tingkatan dapat memahami dan mengerti dengan mudah tentang keberadaan Negeri Tsa-Lu (Talo). Sebuah negeri di pesisir barat Pulau Sumatera yang pernah mengalami masa kejayaan pada tahun 940 Masehi.

Sejarah tentang Tsa-Lu ini perlu terus untuk dilakukan pendalaman kajian kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan serta pengalaman di masa lampau yang tercecer. Fase Tsa-Lu atau Talo sebagai pusat Industri Kapal, penulis telah  menimbang cukup teliti dan hati-hati tentang validasi data dari sumber sejarah. Termasuk interprestasi dari sumber-sumber keterangan yang diperoleh.

Tulisan sejarah perdaban masa lampau ini merupakan suatu usaha, untuk memberikan interprestasi dari bagian trend yang naik turun  keadaan di masa yang lampau, agar diperoleh suatu gambaran umum yang berguna untuk memahami kenyataan masa lampau, membandingkannya dengan keadaan sekarang. Termasuk dapat memprediksi keadaan yang akan datang.

Penulis hanya ingin membuat rekonstruksi masa lampau secara objektif dan sistimatis, dengan mengumpulkan, mengevaluasikan, menjelaskan dan mensintesiskan bukti-bukti, untuk menegakkan fakta dan menarik kesimpulan secara tepat.

Berdirinya Negeri Tsa-Lu

Negeri Tsa-Lu (Talo) didirikan pada Tahun 875 Masehi. Pernah mengalami masa kejayaan pada Tahun 940 Masehi. Sejarah ini  merupakan bagian perjalanan panjang dari Sejarah Tanah Bengkulu atau Sejarah Tanah Rejang.

Negeri Tsa-Lu untuk pertama kali dibangun oleh penduduk negeri Pa-U’ (Sekarang masuk Kabupaten Bengkulu Tengah). Penduduk Pa-U’ itu sendiri berasal dari Negeri Lu-Shiangshe (Kecamatan Ketahun, Bengkulu Utara) yang pernah mengalami pralaya pada Tahun 198 Masehi.

Negeri Tsa-Lu sejak dibangun, tidak banyak menghadapi permasalahan ekonomi, karena sebelumnya masyarakat Pa-U’ yang mengungsi ke Talo sudah banyak dikenal oleh berbagai pelaut (Pelaut juga pedagang pada masa itu) nusantara maupun asing, sebagai pelaut yang mampu membuat kapal layar (Pinisi) sendiri.

“Perpindahan penduduk dari Pa-U’ ke-Tsa-Lu semakin membuka peluang bangkitnya Industri kapal layar dipesisir Barat Pulau Sumatera, karena ditunjang berlimpahnya bahan baku kayu yang terdapat di hulu sungai Tsa-Lu (Ayiek Talo dan Ayiek Alas) yang mereka sebut dengan Alas Ruban (Hutan Jati).”

Sejarah kejayaan negeri Tsa-Lu telah membawa keharuman  Tanah Bengkulu,  sekaligus mengungkapkan kembali (Rekonstruksi) perjalanan panjang anak Negeri Lu-Shiangshe yang pernah memproklamirkan diri sebagai kelompok masyarakat suku (Etnik) Rejang. Nama-nama negeri yang mereka tinggalkan hingga kini masih dapat ditemui, meski dalam dealek daerah yang berbeda.

Pertanyaannya adalah,  Apakah  Negeri (Tanah) Tsa-lu (Talo), Chung Ku-O-Lu (Jenggalu), dan Pa-Hyang (Kepahiyang) masuk dalam kelompok etnis Rejang? Ini akan kita paparkan. Perlu dipahami, etnis Rejang Pa-U’ yang pindah dan mendirikan Negeri Tsa-Lu (875 Masehi), merupakan Chi Au Sen Se Pat Tay (Generasi pelanjut dan kelanjutan / penerus) dari pada Chung Ku-o Jen (China asli).

Karena itu, tidaklah mengherankan apa bila etnis Tsa-Lu (Orang Talo) terkadang mereka mengaku orang Rejang (Rejang lembak atau pesisir) atau Rha-Hyang atau Ra-Hyang, Re-Hyang atau Re-jang. Terkadang pula mereka juga mengaku etnis Pa-U’ (Pauh) atau Hu-Men, sapaan kebanggaan bagi orang Tsa-Lu (Talo) Tahun 909 Masehi.

Perahu tradisional (Tongkang) nelayan negeri Lu-A(e)bongshe 264-198 M. Pada intinya, mereka orang Pa-U’ dan orang Tsa-Lu (Talo) adalah orang-orang Rejang yang berpindah-pindah. Karena itu dinegeri Tsa-Lu (Talo), suku Rejang Pa-U’ sudah tidak menampakkan lagi budaya China secara kental dalam perilaku kehidupan masyarakat sehari-hari.

Moderenisasi budaya sudah menghinggap pada masyarakat Negeri Tsa-Lu, menjelang memasuki era kejayaannya pada Tahun 940 Masehi. Tsa-Lu adalah merupakan satu-satunya negeri yang paling maju di pesisir bagian barat Pulau Sumatera pada Abad ke-X dan masyarakatnya telah mengenal sutra.

Aspek lainnya adalah budaya dan religi Negeri Tsa-Lu yang berkembang begitu cepat kearah darat (Timur), melalui pemuka masyarakat, Raib atau Bhanthi(e), Bhiksu dan Bhksumi berasal dari Kuil Chia Huwn (Chia Hun), yang dibangun pada Tahun 877 Masehi. Selanjutnya mereka juga membangun sebuah Kuil Hu Men-t (Gerbang Harimau atau Pintu Masuk Harimau) Di kaki Gunung Dempo pada Tahun 899 Masehi. Tidak diketahui apakah selanjutnya mereka berhasil membangun Kuil Hu Men-t tersebut atau tidak, karena kuil ini terletak jauh dari pusat keramaian kota pada masa itu. Hingga kini belum ditemui laporan-laporan tentang adanya Kuil Hu Men-t yang ceritakan tersebut.

Sejarah Tsa-Lu (naskah klasik) menyebutkan, pembangunan Kuil Hu Men-t pada Li Pai San (Hari Rabu) Pa-Kaw-Ciu’ (899 Masehi). Penyebutan dan penggunaan angka di Negeri Tsa-Lu masih sama dengan dinegeri awal nenek moyang mereka pertama kali dating, Negeri LU-SHIANGSHE, RA-PA-SH’, PA-U’, PA-LIU, SAM-LAK-KAW, dan TSA-POT-SH’.

Hitungan China (Kek) & (Chung-Wen)

0 = Kang, 1 = It (it), 2 = Nyi, 3 = Sam, 4 = Si, 5 = Ngm, 6 = Diuk, 7 = Chit, 8 = Pat, 9 = Kiu , 10 = Cap , 100 = Pek ,  1000 = Cheng, 10.000  = Cheban, 1 000.000  = Tiaw. Dan seterusnya

Hitungan China (Tio Chu) & (Khong-Hu).

0 = Kang, 1 = Ce, 2 = No, 3 = Tsa, 4 = Si, 5 = Nggo, 6 = Lak, 7 = Chit, 8 = Pot, 9 = Kaw, 10 = Cap. Dan seterusnya

Hitungan China (Mandarin).

0 = Li’ng, 1 = i, 2 = el’atau Liang, 3 = San, 4 = Sh’ (baca: Shi), 5 = U’, 6 = Liu, 7 = Chi, 8 = Pa, 9 = Ciu’, 10 = Sh’ (baca: Se), 11 = Sh’- i, 12 = Sh’- el, 21 = el’-sh’-i, 10 juta = chien-w’an, 101 = i-pai ling-i. Dan seterusnya

Sebagai contoh klasik dalam menyebutkan dibangunnya Kuil Hu Men-t pada Li Pai San (Hari Rabu) Pa-Kaw-Ciu’ (899 M), begitulah mereka menyebut hari dan tahun menurut hitungan mereka. Kadangkala mereka menyebut angka satu (1) dengan kata Ce terkadang menggunakan kata i (1) dan it (1).

Angka dua (2) terkadang mereka sebut no, dilain kata mereka menyebutnya nyiel atau liang, dan angka tiga (3) disebut Tsa dilain waktu mereka menyebutnya san atau sam. Begitulah evolusi bahasa yang berkembang dan terjadi ketika masa itu di Bandar (Pelabuhan) Tsa-Lu. Tergantung suku atau marga yang mana lebih dominan dalam komunitas itu.

“Ada beberapa naskah yang menyebutkan bahwa rancang bangun Kuil HU MEN-T tidak serupa dengan kuil-kuil biasanya. Kuil Hu Men-t berbentuk terowongan (Lorong) panjang.”

Disetiap sisi antara jarak lima (5) meter terdapat dua  (2) orang biksu (Shu-Hu) yang saling berhadapan duduk diantara lorong. Jumlah biksu atau shu-Hu atau bhanthi(e) dalam satu jajaran atau garis lorong sembilan (9) orang. Total biksu atau shu-Hu atau bhanthi(e) yang berada di Lorong kuil seluruhnya berjumlah 18 orang. Dengan demikian, dapat diperkirakan panjang Kuil Hu Men-t (Gerbang Hariamau) mencapai + 45 meter.

Sementara murid-murid lainnya berada di luar kuil (Tidak diperkenankan masuk). Kuil Hu Men-t menghadap ke Matahari terbenam (Barat). Angka 18 (Sh’-Pa) jika dijumlahkan berarti 9. Angka sembilan adalah merupakan angka keberuntung atau lambang keberuntungan menurut kepercayaan mereka.

Ada beberapa naskah yang menyebutkan bahwa rancang bangun Kuil HU MEN-T tidak serupa dengan kuil-kuil biasanya. Kuil Hu Men-t berbentuk terowongan (Lorong) panjang. Disetiap sisi antara jarak lima meter terdapat dua orang biksu (Shu-Hu) yang saling berhadapan duduk diantara lorong.

Jumlah biksu atau shu-Hu atau bhanthi (e) dalam satu jajaran atau garis lorong sembilan  orang. Total biksu atau shu-Hu atau bhanthi(e) yang berada di Lorong kuil seluruhnya berjumlah 18 orang. Dengan demikian, dapat diperkirakan panjang Kuil Hu Men-t (Gerbang Harimau) mencapai + 45 meter.

Sedangkan  para murid lainnya berada di luar kuil, tidak diperkenankan masuk. Kuil Hu Men-t menghadap ke Matahari terbenam (Arah Barat). Angka 18 (Sh’-Pa), jika dijumlahkan berarti sembilan. Angka sembilan adalah merupakan angka keberuntung atau lambang keberuntungan menurut kepercayaan mereka.

Tsa-Lu Negeri Maju

Negeri Tsa-Lu pertama kali didirikan oleh penduduk yang berasal dari negeri Pa-U’ pada tahun 875 Masehi. Negeri Pa-U’ disebut dalam berbagai naskah klasik dimaksud adalah sebuah negeri yang dibangun pada Tahun 750  Imlek atau 199 Masehi di daerah pesisir pantai  Pasar Pedati, Coko hingga Desa Pondok Kelapa sekarang. Sebagian lagi penduduk mendiami pesisir pantai kearah Selatan (Kota Bengkulu sekarang).

Negeri Tsa-Lu (Talu atau Talo) merupakan satu-satunya daerah perdagangan yang paling maju di pesisir barat Pulau Sumatera pada abad ke IX hingga ke-XI M (875-1013 M). Negeri ini tidak saja terkenal sebagai pusat perdagangan, tetapi juga sebagai pusat Industri Kapal Layar (Pinisi) pada masa silam. Dalam perkembangan pertumbuhan perekonomian selanjutnya, negeri Tsa-Lu tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas di Pulau Enggano, sebagai pulau transit bagi kapal-kapal layar (Kapal dagang) yang akan menuju Mala Dewa (Srilangka), India, Jazirah Arab dan Afrika lainnya.

Seorang peneliti berkebangsaan Portugis Pigafetta 1521 menyebutkan Pulau Enggano dengan kata OCOLORE (Pulau Kecewa). Konon katanya dahulu, pulau ini hanya dihuni oleh kaum wanita saja, Seakan-akan negeri ini menjadi Pulau Khayal (Pulau Dongeng). Sedangkan untuk menuju ke- Birma, Siam (Tailand), Champha (Kamboja), Canton (China), mereka berlayar melalui Kepulauan Andaman dan Kepulauan Nicobar di Teluk Banggala.

Dalam naskah China klasik, sebuah buku catatan pelayaran Shiemphon (Tan Kwie Chang) “Shiang shiang K’un–Lun Shan” artinya, Semerbak Harum Pegunungan, ditulis 757 Tahun Imlek atau Tahun 308 Masehi, menceritakan adanya negeri Pa-U’ (Di Bengkulu). Buku ini merupakan koleksi keluarga yang sangat dijaga (Wasiat leluhur), terkadang dianggap keramat.

Negeri Pa-U’ disebut “Negeri ditutupi sebuah pulau”. Negeri dibelakang sebuah pulau yang banyak disinggahi kapal-kapal layar (Perahu layar) berasal dari berbagai negeri. Perdagangannya sangat maju dengan menggunakan alat tukar emas. Sedangkan disebelah negeri itu (Kearah utara), terdapat Negeri Pa-Liu yang banyak menghasilkan kerbau dan babi.

Di Pa-U’ terdapat tempat perniagaan (Pasar), dan sebuah pelabuhan perahu layar yang aman dari terpaan badai dan gelombang. Daerah ini terlindung oleh sebuah pulau dan beberapa pulau kecil lainnya. Perahu dagang dari Pulau  Enggano dan lainnya, banyak singgah dan berniaga disana. Penduduk Negeri Pa-Liu juga berniaga dan berbelanja disana.

Penduduk negeri Pa-U’ dan Pa-Liu temasuk  Ra-Pa-Sh, semuanya berasal dari satu negeri yaitu LU-SHIANGSHE (264 sM-198 M). Dalam naskah klasik India “Pralaya Negeri Emas” ditulis oleh Brasta Simaa Tahun 146 Caka atau 224 Masehi menceritakan tentang adanya negeri yang bernama Lu-Shiangshe di Yavdvipha atau Javaviva (Pulau Sumatera dan Jawa=Yavdvipha). Perniagaan di negeri itu menggunakan alat tukar emas. Para pedagang menyebutnya dengan negeri Kerajaan Emas di Yavadha.

Antara Tahun 264–198 sebelum Masehi (sM) telah ada negeri yang bernama LU-SHIANGSHE. Nama negeri ini secara terminologi berarti Negeri Sungai Harum (Wangi) atau Sungai Kejayaan atau Sungai yang memberi kehidupan/harapan atau Sungai Emas, berada di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara sekarang.

Namun Negeri Lu-Shiangshe itu mengalami pralaya (Musibah akibat bencana tsunami dan gelombang laut setinggi 11,4 meter),  disusul dengan gempa berkekuatan 9,2 skala richter, yang meluluhlantakkan negeri ini pada Tahun 198 Masehi.

Masyarakat Bengkulu menyebutnya negeri itu dengan kata Lusang dan sekarang kita hanya mengenal nama sungai Lusang, aliran anak sungai yang terdapat di penambangan emas Lebong Tandai, Ketahun Kabupaten Bengkulu Utara.

Penduduk yang selamat dai pralaya itu mendirikan negeri baru yang mereka sebut Ra-Pa-Sh’ (Serapas), Pa-U’ (Pauh), dan Pa-Liu (Palik).

Chung Ku-o Jen (Sebutan untuk orang China) yang selamat dari pralaya Negeri Lu-Shiangshe Tahun 198 M, selain yang berasal dari penduduk Ra-Pa-Sh, juga ada sebanyak 171 Kepala Keluarga  yang mengungsi kearah selatan (Kota Bengkulu  sekarang). Mereka mendirikan negeri (Perkampungan) yang mereka sebut Pa-U’ (Dalam bahasa daerah disebut Pauh) pada Tahun 750  Imlek atau 199 Masehi di daerah  pesisir pantai  Pasar Pedati, Coko hingga Desa Pondok Kelapa sekarang.

Chung Ku-o yang membangun Negeri Pa-U’ tersebut, tampaknya terdiri dari dua marga besar, yaitu marga Tan sebanyak  86 KK dan Marga Lie sebanyak 85 KK. Chung Ku-o marga Tan yang semula mendiami Pa-U’ bersama marga Lie, selanjutnya mendirikan perkampungan baru sendiri pada Tahun 755 Tahun Imlek atau 204 Masehi. Negeri itu mereka sebut dengan Pa-Liu (Palik sekarang).

Kedua negeri Pa-U’ dan Pa-Liu secara umum berpenduduk etnis China (Chung Ku-o Jen). Namun disana juga terdapat etnis lainnya, seperti India dan Srilangka yang beragama Hindhu-Bhuddha (Sycretisme). Mata pencariannya adalah mendulang emas, batu mulia serta bertani. Negeri ini terletak dipesisir barat Pulau Sumatera.

Chung Ku-o Jen yang datang kesitu berasal dari negeri Hyunan (China daratan), menggunakan bahasa Mon, bahasa yang menyebar keberbagai negeri di Thailand, Birma, Kamboja dan sebagian Korea.

Rainam Khaporr seorang Khan-khaan (Saudagar) India Selatan, sempat menceritakan tentang adanya Negeri Lu-Shiangshe dalam sebuah bukunya “Menuju Samudra” (Menuju Nusantara) ditulis Tahun 175 Caka atau 253 Masehi dan ditulis kembali (Disalin) pada Tahun 742 Masehi. Ia nenyebutkan bahwa negeri itu hancur ditelan gelombang badai dahsyat pada Tahun 198 Masehi.

Seorang khan khaan India lainnya bernama Rafjifni kelahiran Yaffana India, pada Tahun 535 Caka atau 613 Masehi, dalam sebuah naskah klasik ”Berlayar Kenegeri Emas” bertuliskan Hindhustan India, ditemukan pada Tahun 1328 Caka atau 1406 Masehi di Madura India menyebutkan, adanya penduduk etnis China dipesisir barat Negeri Bengkulu. Naskah itu hanya menyebutkan adanya negeri disekitar Negeri Lu-Shiangshe (Negeri yang telah hancur) seperti Ra-Pa-Sh, Pa-U’ dan Pa-Liu, Negeri  Ippoh dan Moco (Mukomuko).

Pada tahun 690 Masehi, musibah dahsyat kembali menghantam negeri-negeri di Bengkulu (Ra-Pa-Sh, Pa-U’ dan Pa-Liu), sehingga sebagian penduduk mengugsi ke wilayah Indrapura dan  Padang Pariaman Sumatera Barat.  Rejang Pa-U’ (Pauh) umumnya adalah para petani dan nelayan. Mereka banyak menetap di daerah Padang Pariaman. Sedangkan Rejang Pa-Liu dan Ra-Pa-Sh sebagian bertahan di Indrapura dan Kurinci.

Bencana Tahun 690 Masehi tidak menyebabkan seluruh penduduk Negeri Pa-U’ pindah atau mengungsi kedaerah lain. Mereka banyak juga yang tetap bertahan hingga tahun 875 Masehi.

“Penduduk Negeri Pa-U’ inilah yang nantinya mengungsi ke Tsa-Lu secara besar-besaran pada Tahun 875 Masehi, akibat berjangkitnya wabah cacar yang sangat ganas di Pa-U’. Mereka membangun kembali sebuah negeri (Kearah Selatan Bengkulu atau tepatnya Kabupaten Seluma sekarang). Negeri ini mereka sebut dengan kata Tsa-Lu. Kata Tsa-Lu dalam bahasa China berarti  tiga  sungai. Namun kata Talo dapat juga berarti lantai yang lebar (Luas).”

Sebuah catatan kaki dari naskah klasik “Menapak di Bumi Bhuddha” karya seorang bhikshu asal Siam (Thailand) bernama Kim Tsampaan, pernah mengunjungi Negeri Tsa-Lu (Negeri Tiga Sungai) pada Tahun 1342 Masehi, menyebutkan saat perahu-perahu penduduk Pa-U’ berlabuh di Tsa-Lu, mereka menemukan sebuah Telaga (Kolam) yang airnya sangat jernih dan air itu ternyata dapat menyembuhkan penyakit cacar.

Kolam inilah nampaknya yang menyebabkan pengungsi Pa-U’ memutuskan untuk menetap dan membangun Tsa-Lu.

Membangun sebuah negeri yang baru bagi penduduk Pa-U’ tidaklah begitu sulit. Mereka adalah pekerja-pekerja yang tangguh. Para pelaut dari berbagai negeri (Pelaut asing) umumnya sangat mengenal mereka. Mungkin inilah yang menyebabkan Negeri Tsa-Lu cepat sekali dikenal orang (Para pelaut). Baik di nusantara maupun pelaut asing lainnya.

Kim Tsampaan juga menceritakan tentang Negeri Tsa-Lu banyak menghasilkan gula aren, madu lebah dan umbut rotan yang sangat disenangi para pelaut. Dagangan tersebut di datangkan orang dari negeri Mannau (Manna?).

Selain itu terdapat ikan laut (Ikan kering) dan ikan sungai (Salai). Masyarakatnya telah pandai membuat kapal layar (Perahu ukuran besar) dan  banyak diperdagangkan orang di negeri Tsa-Lu. Keterangan Kim Tsampaan ini menunjukkan bahwa, di Tsa-Lu banyak terdapat masyarakat nelayan disamping berniaga.

Pada abad ke-XI (1013 Masehi) komunitas Pa-U’ kembali ketanah leluhurnya yang telah lama ditinggalkan nenek moyang mereka yaitu Bengkulu (Tidak ada catatan alasan perpindahan tersebut). Sejak itu negeri Bengkulu mengambil alih perdagangan Negeri Tsa-Lu. Negeri Bengkulu sebelumnya tidak banyak dikenal orang (Negeri Bengkulu itu telah ada sejak lama, namun tidak banyak disebut-sebut orang), Setelah komunitas Rejang Pa-U’ kembali ke Bengkulu, sebagai mana yang banyak diceritakan dalam lintasan sejarah Tsa-Lu, barulah Negeri Bengkulu banyak disebut-sebut.

Terlebih Negeri Bengkulu ini nantinya sangat berperan sebagai pintu gerbang perdagangan di pesisir barat Pulau Sumatera (1013-1140 Masehi), dan sekaligus sebagai pasar penyanggah ekonomi dan perdagangan Pulau Enggano (Pulau transit). Namun Negeri Bengkulu  tidak bertahan lama,  sebab para pelaut (Pedagang) lebih senang berlabuh di Pasar Tsa-Lu.

Perdagangan di Negeri Bengkulu terlihat pada Tahun 1458 dan 1468 Masehi, sudah tidak begitu ramai lagi, sebagaimana diungkapkan penulis Hakim Benardie Sabrie  dalam bukunya  Sejarah Maritim Indonesia, Tahun 2003.

Banyak Kapal Besandar

Kapal-kapal layar yang bersandar di Bandar (Pelabuhan) Tsa-Lu diantaranya kapal-kapal asing berasal dari Canton (Kwantung-China), Funnan atau Pnom Penh (Champha atau Kamboja sekarang) pelabuhan utamanya Go-Oc-Eo. Ada dari Siam (Thailand), Birma, Mala Dewa (Ceylon–Srilangka), India, Arab, Afrika.

Sedangkan kapal-kapal layar yang berasal dari nusantara yang berniaga di Tsa-Lu adalah Peureulak (Cikal bakal Kerajaan Samudera Pasee di Prov NAD sekarang). Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvan (Prov Riau), Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ (Palembang sekarang), Pone (Sulawesi).

Pelabuhan Tsa-Lu juga banyak disinggahi kapal layar dagang dari Jawa, seperti kapal layar Tuban, Japara (Jaffana), Ka-lingga (Ho-Ling), Gersik, Surabaya dan hampir semua pelabuhan besar dan kecil di pesisir Utara Pulau Jawa (Jawa Timur dan Tengah), bersandar di Bandar Tsa-lu untuk berdagang. Termasuk sebelum meneruskan perjalan pelayarannya menuju India dan Jazirah Arab dengan transit pertama di Pulau Enggano.

Pada abad ke-VII Masehi dimasa Dinasti Tang (China), dalam situasi pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang stabil hingga abad ke-X, China belum melakukan pelayaran dagang inter-regional. Teknologie kapal China hanya berorientasi pada kepentingan pelayaran sungai dan selat.

Perdagangan internasional China hanya dilakukan oleh para pedagang asing (Arab, Persia, India, Champa, dan Nusantara) yang datang kepelabuhan (Bandar) China. Dalam dokumen Thang Yu Lin (Miscellanea of the Thang Dynasty) ditulis oleh Wang Tung dalam dinasti Sung (Abad ke-XII) dikatakan bahwa, pada abad le-VIII dimasa pemerintahan Ta-Li (766-779) dan Chen Yuan (785-804) telah ada kapal asing yang bersandar di pelabuhan China.

Pedagang China (Kapal dagang perorangan, bukan kapal dagang kerajaan) sebenarnya telah sejak lama berniaga di Nusantara. Hubungan dagang itu semakin maju dengan pesatnya, seiring kemajuan ekonomi. Terutama pada masa kejayaan Negeri Tsa-Lu pada Tahun 940 M. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa  pada masa kejayaan itu, masyarakat Tsa-Lu telah mengenal Sutra China, barang-barang gerabah (Piring, mangkuk, sendok, cawan) dan alat kosmetik.

Samudera Pasee adalah salah satu pusat perdagangan dan pelayaran, dari enam pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi pada abad ke-XIII. Sebagaimana  yang dilaporkan Marco Polo yang singgah di Samudera Pasee (1292) dalam pelayarannya dari China ke Persia. Dalam naskah pelayaran itu menyebutkan, bahwa pada Tahun 940 Masehi, pedagang Peureulak (Cikal bakal Samudera Pasee) telah banyak berniaga ke Negeri Tsa-Lu. Bahkan mereka juga membeli kapal layar dari negeri ini.

Dalam naskah lain disebutkan, pada Tahun 1405-1433 Masehi, pada masa kekaisaran Ming, China juga mengirimkan tujuh kali ekspidisi maritim ke Nusantara, dibawah pimpinan Laksamana Cheng Ho. Mereka berlayar hingga pada  pesisir timur benua Afrika. Ekspidisi ini bertujuan memperluas pengaruh China (Politik) dengan cara memperbesar jaringan perdagangan dengan Negara-negara (Kerajaan – Kota dagang) lainnya.

Kapal Layar  bersandar di Pelabuhan Tsa-Lu 940-942 M adalah: 

  1. 940 M Mala Dewa membeli 4 Kapal, masuk dok (perbaikan) 1Kapal, , 941 M 27   Kapal kembali ke Mala Dewa, 942 kapal yang datang sebanyak 31 dan kembali 29 dua (2) masuk dok.
  2. 940 M Kwantung membeli 9 kapal, 941 M 38 kapal kembali, 3 kapal masuk dok, 942 M 41 kapal kembali.
  3. 940 M Funnan membeli kapal 2 kapal, dan kembali 17 dengan kapal dagang, 941 M tiga (3) kapal masuk dok, 942 kembali dengan 21 kapal dagang.
  4. 940 M Birma membeli 2 kapal layar, 942 tiga (3) kapal dagang Birma masuk dok.
  5. 940 M Madura (India) membeli 6 kapal, 942 M tiga (3) kapal dagang masuk dok.
  6. 940 M Siam membeli 4 kapal dagang, 941 M satu (1) kapal dagang masuk dok.
  7. 941 M satu (1) kapal layar Peureulak masuk dok.
  8. 940 M Pedagang Arab membeli 14 kapal layar, 941 M tiga (3) kapal masuk dok, 942 M 49 kapal layar kembali ke pelabuhan Arab.
  9. 941 M satu (1) kapal layar Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä masuk dok.
  10. Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ (Tidak ada masalah dalam pelayaran).
  11. Phã-mnalä-yû Tulang Bawang (Tidak ada masalah dalam pelayaran).
  12. 940 M enam (6) kapal layar Ka-Lingga (Kapal dagang di Jawa Timur dan Jawa Tengah) masuk dok. 941 51 kapal kembali berlayar, 942 satu (1) kapal layer masuk dok.

Catatatn: Tulisan ini karena keterbatasan waktu dan ruang, maka tulisan hingga  disini namun esensi dari tulisan  sudah terakomodir. Nantikan lengkapnya di edisi cetaknya dalam waktu dekat.

Oleh: Benny Hakim Benardie, Pemerhati Sejarah dan Budaya tinggal di Bengkulu/Alumni Universitas Islam Djakarta