WALHI Bengkulu: Ancaman Konflik, Bencana dan Krisis Iklim di Kawasan Hutan

Alih fungsi hutan tidak hanya menyebabkan terjadinya bencana banjir, longsor, hingga kekeringan, tetapi juga mengganggu ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay
Alih fungsi hutan tidak hanya menyebabkan terjadinya bencana banjir, longsor, hingga kekeringan, tetapi juga mengganggu ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

InfoNegeri, BENGKULU – Hari Hutan Indonesia (HHI) diperingati setiap tahunnya Tanggal 7 Agustus, dimana momentumnya tersebut untuk mengkampanyekan pelestarian Hutan di Indonesia khususnya di Provinsi Bengkulu.

Sejak tahun 2020 diperingati HHI merefleksikan disahkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019, tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.

Momentum tersebut, Walhi Bengkulu, Dodi Faisal, HHI menjadi pengingat bagi kita semua akan manfaat Hutan untuk kehidupan sehari-hari yang selama ini Hutan selalu kita nikmati. Sebagai insan Manusia kita harus hidup harmonis dengan alam.

Seperti konflik sumber daya alam dan lingkungan yang terjadi di Provinsi Bengkulu tidak lepas dari ketimpangan dalam pembagian ruang dan pembangunan daerah yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik.

Dari total 1.992.000 hektar luas provinsi Bengkulu yang mana 47 persen adalah kawasan hutan sedangkan wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) hanya 53 persen, sebenarnya sangat ideal untuk sebuah wilayah. Akan tetapi angka ini hanya di atas kertas saja.

Faktanya untuk jumlah penduduk Provinsi Bengkulu yang saat ini sudah mencapai 2 juta jiwa, dari jumlah APL yang angkanya 53 persen sudah dibagi untuk industry ekstraktif seperti pertambangan seluas 14 persen dan perkebunan seluas 11 persen.

“Ini artinya APL yang belum terbebani oleh izin hanya tersisa 28 persen lagi, sedangkan di kawasan hutan sendiri masih banyak permasalahan tumpang tindih baik dengan masyarakat maupun dengan kelompok industry ektraktif itu sendiri.” ungkapnya, (07/08/2021).

“Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya usulan pelepasan kawasan hutan oleh Gubernur Bengkulu seluas 53.037,68 hektar pada 08 Januari 2019 yang terindikasi diperuntukan bagi kepentingan industri ekstraktif yang beroperasi di kawasan yang diusulkan tersebut.” tambahaya.

Usulan ini kemudian, kata Dodi Faisal, akan menjadi pintu masuk bagi berkembangnya konflik dengan masyarakat, menciptakan bencana ekologis dan berkontribusi terhadap krisis iklim. Terlebih pada Desember 2015, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menilai bahwa Bengkulu merupakan pusat iklim dunia.

“Berdasarkan penelitian itu, awan hujan di Indonesia terbentuk di Bengkulu yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia dan negara – negara lain di dunia.” katanya.

Konflik, Bencana dan Krisis Iklim

Konflik sumber daya alam dan lingkungan yang terjadi di Provinsi Bengkulu saat ini, Dodi menyebutkan hal itu tidak lepas dari ketimpangan dalam pembagian ruang dan pembangunan daerah yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik.

“Ketimpangan pembagian ruang hidup rakyat sebenarnya dapat diatasi dengan memberikan akses pengelolaan lahan dari sektor kehutanan yang telah diakomodir pemerintah melalui agenda Perhutanan Sosial untuk mejamin keberadaan lahan pengelolaan dalam kawasan hutan oleh masyarakat.” katanya.

Namun lanjut Dodi, dari tahun 2018 baru terealisasi seluas 43.331 hektare, yang tersebar di Bengkulu Utara, Rejang Lebong, Seluma, Bengkulu Selatan, Lebong dan beberapa kabupaten lainnya di daerah. Sedangkan untuk tahun 2019 sedang ditargetkan seluas 108.802 hektare hingga tahun 2020  dari total target seluas 152.134 Hektar.

“Ketimpangan pembagian ruang inilah yang kemudian di perebutkan oleh masyarakat Bengkulu dalam mendapatkan kehidupan yang layak dan memicu konflik sumber daya alam dan lingkungan.” sampainya.

Seperti lanjutnya, bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor pada bulan April 2020 lalu yang menewaskan 27 orang, merusak lahan perkebunan dan menghancurkan infrastruktur serta menyebabkan ribuan warga mengungsi akibat meluapnya DAS (Daerah Aliran Sungai) Air Bengkulu dan DAS Lemau.

“Kejadian tersebut merupakan bentuk nyata kerusakan dikawasan hutan akibat aktifitas industry ekstaktif,” singkatnya.

Dimana saat ini, Dodi menyebut terdapat 8 izin pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan Kabupaten Bengkulu Tengah yang terindikasi menjadi penyebab utama terjadi banjir tersebut.

Namun ironisnya, Dodi menyampaikan saat ini Pemda belum melakukan upaya kongkrit untuk menindak operasi pertambangan yang merusak kawasan hutan tersebut. Usulan pelepasan kawasan hutan seluas 53.037,68 hektar menjadi pertanyaan besar apabila dikaitkan dengan Bengkulu yang menjadi pusat iklim dunia.

Usulan ini tentunya akan berkontribusi pada krisis iklim, terlebih lagi menurut laporan Program Lingkungan PBB dan Institut Penelitian Peternakan Internasional, adanya transfer patogen dari hewan ke manusia didorong oleh kerusakan lingkungan alam melalui degradasi lahan, eksploitasi satwa liar, ekstraksi sumber daya, dan perubahan iklim.”

“Transfer patogen dari hewan ke manusia (zoonosis) seperti pandemi Covid 19 yang melanda seluruh dunia dan masih mewabah sampai dengan hari ini, seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam kebijakan negara terkait dengan usulan pelepasan kawasan hutan.” terangnya.

Keberanian Pemerintah Daerah

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada tanggal 5  Oktober 2020 berpotensi semakin mempersempit ruang hidup rakyat dan memperarah kerusakan ekologis yang selama ini telah terjadi.

Undang-Undang Cipta kerja dan seluruh rancangan aturan-turunannya juga sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Beberapa pakar berpendapat adanya ketidaksinkronan aturan-turunan Kehutanan dari Undang-undang Cipta Kerja dan dinilai tidak nyambung satu sama lain.

“Contoh, antara PP Nomor 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah (PP43) dan PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP23). Dimana Model seperti ini bisa menyebabkan kebijakan tak implementatif bahkan berpotensi muncul masalah.” katanya.

Disisi lain, kewenangan Pemerintah Daerah untuk menyelesaikan permasalahan daerah dan lingkungan semakin sempit dan tidak strategis pasca ditetapkannya undang – undang Cipta Kerja.

“Keberanian Pemimpin Daerah dibutuhkan untuk melawan kebijakan resentralistik pemerintah pusat yang membatasi kewenangan Pemda. Hal ini tentu saja apabila Pemda Bengkulu berkomitmen penuh dalam penyelamatan dan perlindungan kawasan hutan dari eksploitasi sumber daya alam yang berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis.” katanya. [SA/Rls]