Yayasan PUPA Inisiasi Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Perempuan

Caption foto: Yayasan PUPA menginisasi 16 Hari kampanye anti kekerasan perempuan di Bengkulu (Foto/dok)
Caption foto: Yayasan PUPA menginisasi 16 Hari kampanye anti kekerasan perempuan di Bengkulu pada Kamis 07 Desember 2023 (Foto/dok: Soprian Ardianto)

Infonegeri, BENGKULU – Yayasan Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu menginisiasi peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, untuk mengawal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Konsep peringatan ini digelar bersama mitra di antaranya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Bengkulu, UPTD PPA Kota Bengkulu, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Aisyiyah, Perkumpulan Kantor Bantuan Hukum Bengkulu (PKHB) dan Generasi Anti Kekerasan (GAK).

Direktur PUPA, Susi Handayani, mengatakan kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP)  dan anak (KTA) masih cukup tinggi. Sepanjang 2023 penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan terhitung sebanyak 62 kasus dan kekerasan terhadap anak 68 kasus.

“Yayasan PUPA sendiri telah mendampingi 23 korban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan 3 korban kekerasan terhadap anak (KTA). Kasus-kasus tersebut mencakup berbagai bentuk kekerasan, termasuk perkosaan, pencabulan, kekerasan fisik, dan kasus lainnya.” katanya melalui konferensi pers di salah satu cafe, Kamis (07/12/2023).

Susi membeberkan, pendampingan kasus seperti UPTD PPA Provinsi telah menangani 28 kasus KTP dan 1 kasus KTA, disambut UPTD PPA Kota Bengkulu menangani 9 kasus KTP dan 45 KTA. Demikian dengan PKHB yang telah mendampingi penanganan 2 kasus KTA.

Begitupun LKSA Aisyiyah yang mendampingi 5 kasus penanganan anak di antaranya mengalami kasus kekerasan seksual, 2 kasus perkosaan yang dilakukan orang yang masih berhubungan darah (inces) dan 3 lainnya adalah perkosaan. Sedangkan GAK menangani 2 kasus KBGO anak dari 13 kasus yang melapor.

“Sepanjang penanganannya, terdapat kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi namun sebagian besar korban pada tahun 2023 belum menggunakan UU TPKS. Alasan yang dikemukakan adalah adanya UU Perlindungan Anak yang dianggap sudah cukup untuk melindungi hak korban di bawah umur.” terang Susi.

Susi juga menyayangkan kurangnya pemahaman dan implementasi UU TPKS di kalangan Aparat Penegak Hukum (APH), yang mana menurut pengakuannya APH masih kurang informasi tentang UU tersebut. Hal ini mengakibatkan belum optimalnya penerapan UU TPKS dalam memastikan hak-hak korban kekerasan seksual.

“Situasi yang semakin memprihatinkan terlihat di UPTD PPA Kota, yang saat ini hanya memiliki Kepala UPTD tanpa staf. Kepala UPTD PPA yang akan memasuki masa pensiun di awal tahun 2024 menambah urgensi penambahan personel untuk menjaga kuantitas dan kualitas layanan, terutama di tengah meningkatnya kasus KTP dan KTA.” sampai Susi.

PUPA merekomendasikan penguatan UPTD PPA, membangun sinergi dengan lembaga layanan masyarakat, dan menekankan pentingnya pemahaman dan implementasi UU TPKS dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

“Lebih lanjut, pendamping korban kekerasan, terutama perempuan pembela HAM (PPHAM), juga perlu mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi serta sosialnya untuk memastikan kualitas pendampingan yang optimal.” harapan Susi.

Editor | Bima Setia Budi