Penghancuran Cagar Budaya Rumah Bubungan Tiga oleh Bank Indonesia, Ini Penjelasan Anak dr. Abu Hanifah

Caption foto: Rumah Bubungan Tiga bekas Rumah Perwira Inggris pada abad 18 dan 19 (Foto/dok: kemdikbud.go.id)
Caption foto: Rumah Bubungan Tiga bekas Rumah Perwira Inggris pada abad 18 dan 19 sebelum menjadi lahan parkir Bank Indonesia (Foto/dok: kemdikbud.go.id)

Infonegeri, BENGKULU – Rumah dr. Abu Hanifah Bubungan Tiga yang terletak di Kota Bengkulu peninggalan kolonial Inggris merupakan Situs Gedung Nasional (KNID) atau cagar budaya berdasarkan SK Kemdikbud Nomor: 120 tahun 2009.

Rumah Dr. Abu Hanifah Bubungan Tiga merupakan masuk dalam salah satu cagar budaya di Kota Bengkulu, telah dihancurkan, dimana saat ini situs tersebut sudah menjadi lahan parkir milik Kantor Bank Indonesia (BI) Perwakilan Provinsi Bengkulu.

Menanggapi hal tersebut pihak Bank BI Perwakilan Provinsi Bengkulu, angkat bicara dimana menurut keterangannya Rumah Bubungan Tiga milik Dr. Abu Hanifah sudah milik BI, dimana kepemilikan tersebut berdasarkan akad jual beli terhadap pewaris.

“Terkait status cagar budaya bisa langsung konfirmasi ke Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII. Dari BI yang dapat kami infokan bahwa tanah tersebut diperoleh melalui proses jual beli dengan pemilik terakhir.” kata Humas BI, Senin (01/04/2024).

BACA JUGA: Bank Indonesia Sulap Situs Bersejarah Rumah Bubungan Tiga Bengkulu Lahan Parkir

Penelusuran lebih lanjut media ini mencoba mengumpulkan data dan fakta sejarah Rumah Bubungan Tiga yang sudah di SK oleh Kemendikbud, ternyata tanah hak milik atas nama dr. Abu Hanifah Racaman, tersebut juga ditetapkan sebagai tanah hak milik adat.

Walaupun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan SK Kemendikbud Nomor: 120 tahun 2009, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII, Nurmatias menegaskan bahwa Rumah Bubungan Tiga tersebut belum berstatus cagar budaya (proses register).

“Belum ditetapkan sebagai situs cagar budaya, karena yang ditetapkan situs cagar budaya itu harus ada penilaian dari tim ahli yang bersertifikasi yang diassessment oleh lembaga sertifikasi nasional,” tegas Nurmatias, kepada media ini, Senin (01/04/2024) lalu.

Menanggapi hal itu, Hero Hanifah anak Almarhum (Alm) dr. Abu Hanifah, menjelaskan bahwa ia lahir di Rumah tersebut tahun 1973 dan kemudian di tahun 1985 ia bersama keluarga pindah dan menetap di Jakarta dan tak pernah lagi kembali ke Rumah itu.

BACA JUGA: Situs Sejarah Rumah Bubungan Tiga Bengkulu yang Hancur di Bank Indonesia

Rumah Bubungan Tiga disamping BI yang hampir satu hektare (ha) tersebut memiliki sertifikat dan dahulunya dipegang oleh Almarhumah (Almh) Ibunya. Anak bungsu dari dr.  Abu Hanifah ini juga menyampaikan Ayahnya wafat di tahun 1990.

“Aku tinggal dari lahir tahun 1973 sampai pindah dari Bengkulu tahun 1985, setelah tahun 1985 aku ga pernah lagi di Rumah itu dan tahun 1987 kita sudah menetap di Jakarta. Kepemilikan sudah di BI, dulu mendiang Ibu yang nyimpan (sertifikat).” jelasnya.

Pengerusakan Cagar Budaya 

Pengerusakan cagar budaya dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap warisan budaya suatu bangsa. Pengerusakan cagar budaya memiliki hukum berbeda-beda disetiap negara Namun, umumnya, pengerusakan cagar budaya dianggap sebagai pelanggaran hukum.

Banyak negara memiliki undang-undang (UU) secara khusus melindungi cagar budaya. UU ini biasanya menetapkan sanksi bagi pelanggar, baik itu berupa denda, hukuman penjara, atau kedua-duanya. Pihak yang terlibat juga dikenai tuntutan perdata atau pidana.

Indonesia sendiri dalam melindungi cagar budaya telah bergabung melalui Konvensi dan Perjanjian Internasional. Konvensi dan perjanjian ini mengatur perlindungan warisan budaya seperti contohnya adalah Konvensi UNESCO tentang Warisan Budaya Dunia.

Pelaku pengerusakan cagar budaya bisa dikenai tanggung jawab sipil dan pidana. Mereka dapat diwajibkan untuk mengganti rugi kerusakan yang telah disebabkan, serta dapat dihukum pidana sesuai dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

Selain sanksi pidana, pelaku pengerusakan cagar budaya juga bisa diwajibkan untuk memulihkan kerusakan yang telah terjadi. Hal ini dapat melibatkan restorasi cagar budaya yang rusak atau bahkan pembangunan kembali struktur yang telah dihancur.

Di Indonesia, pengerusakan cagar budaya sudah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang merusak, menghancurkan, atau melakukan tindakan dapat merusak cagar budaya.

Sanksi Pidana: UU tentang cagar budaya menyatakan bahwa pelaku pengerusakan cagar budaya dapat dikenai sanksi pidana berupa denda dan/atau pidana penjara. Besarnya denda dan masa penjara yang dikenakan tergantung pada tingkat keparahan.

Pewarta | Soprian Ardianto