Pentingnya Pemahaman Ilmu Gender Bagi Tenaga Pengajar dan Hentikan Diskriminasi Berbasis SOGIESC di Lingkungan Pendidikan

Oleh: Faiha Oktrina, Mahasiswa Fakultas Hukum – Universitas Bengkulu

Beredarnya video seorang Mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) yang mengidentifikasi diri sebagai non-biner dan berujung dikeluarkan dari ruangan saat Pengenalan Mahasiswa oleh dosennya.

Kini isu tersebut telah diangkat ke meja diskusi tentang pemahaman non-tradisional gender di masyarakat Indonesia. Dimana Indonesia memiliki sejarah panjang ketidaksesuaian gender dan identitas gender, banyak teori psikologi yang telah memberikan penjelasan perkembangan homoseksual dan heteroseksual terkait hal itu.

Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini memiliki banyak kebudayaan, tradisi, adat istiadat dan beberapa kepercayaan yang masih hidup dalam masyarakatnya, termasuk identitas gender yang kerap kali menjadi perdebatan di banyak kalangan.

Non-Biner adalah salah satu bagian dari identitas gender yang mencuat kepermukaan media setelah Video dua orang Dosen UNHAS terlihat marah dan berkata kepada Mahasiswa-nya yang secara terang-terangan mengaku Non-Biner. “Tidak ada gender netral! Di KTP-mu Laki-Laki atau Perempuan?”, sebelum akhirnya mengusir Mahasiswa berinisial MN tersebut.

Padahal Non-Biner terlebih dahulu telah diperkenalkan dalam masyarakat Bugis di Makassar atau yang diketahui sebagai keragaman gender dengan sebutan ‘Bissu’, yaitu gender istimewa yang tidak mengidentifikasikan diri sebagai Laki-laki atau Perempuan. Dalam kepercayaan tradisional Bugis, bahkan ada empat (atau lima bila golongan Bissu juga dihitung).

Kepercayaan tersebut diantaranya “Oroane” (laki-laki); “Makunrai” (perempuan); “Calalai” (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki); “Calabai” (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan); dan golongan Bissu, di mana masyarakat kepercayaan tradisional menganggap seorang Bissu sebagai kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut.

Terlepas apakah Kultur Bissu ini dapat dianut semua masyarakat Indonesia atau tidak dan pro kontra yang menyangkut paut atas LGBTQ terkait isu diatas bukan menjadi pokok pertanyaan mendasar dari Video yang beredar, melainkan masyarakat secara sadar telah dipertontonkan bentuk diskriminasi berbasis SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sexual Characteristics) yang dilakukan oleh Tenaga Pendidik kepada Mahasiswa dengan alih mengkotak-kotakan gender mana saja yang dapat memperoleh Pendidikan.

Ironisnya hal tersebut terjadi di Fakultas Hukum dengan pengajar yang berlatarbelakang hukum pasti lebih memahami bahwa diskriminasi adalah tindakan yang melanggar hukum. Dari sudut pandang hukum, dua orang dosen UNHAS tersebut juga melanggar Kode Etik Dosen UNHAS Pasal 11, setiap dosen wajib menjunjung tinggi kesetaraan dan pluralisme yang melarang adanya tindakan diskriminasi.

Diskriminasi berbasis SOGIESC secara berkelanjutan terus terjadi di dunia Pendidikan dan mengakibatkan sebagian kalangan memiliki hambatan dan sulit mengakses Pendidikan. Salah satu Platform LGBTQ yang menggunakan Survei Publik pernah dilakukan pula melalui media sosial Arus Pelangi, data di dalamnya mengatakan 96% dari 362 individu LGBTQ mengaku kesulitan mendapatkan akses Pendidikan yang ramah di Indonesia.

Perlunya menggaris bawahi, apapun latar belakang gender, jenis kelamin, ras, adat istiadat dan lain sebagainya seseorang tidak menjadi standarisasi apakah orang tersebut dapat mengakses Pendidikan yang layak atau tidak. Jaminan kalimat diatas adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 28C ayat 1 dan Pasal 31 ayat 1.

Setiap orang berhak mendapatkan pengajaran dan tidak dibatasi oleh hal-hal berbau orientasi seksual, identitas seksual dan semacamnya untuk menjadi tolak ukur seseorang dapat memperoleh Pendidikan. Hal tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan diatur dalam Pasal 13 di International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.

Sebenarnya Pemerintah Indonesia melalui Kemenristekdikti telah berupaya menghapus jejak diskriminasi dengan banyak cara seperti Pendidikan Inklusif dan implementasi kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama) terkait pemerintah daerah dan sekolah negeri soal seragam beratribut agama dan beberapa hal bentuk pencegahan lainnya.

Begitu tegaknya pengaturan tentang Pendidikan yang ada karena dilandasi pentingnya suatu Pendidikan untuk semua bangsa. Namun, kasus diatas menjadi bukti bahwa Indonesia salah satu negara yang masih melenggangkan diskriminasi Pendidikan berbasis SOGIESC di lingkungan Pendidikan itu sendiri.

Semua tenaga pengajar seharusnya sudah memiliki pengetahuan lebih jauh mengenai Gender sehingga tidak ada kesalahan berpikir dan menghindari ketidakmampuan si tenaga pengajar dalam memisahkan antara urusan Pendidikan sebagai salah satu HAM yang diakui negara dan masyarakat internasional serta telah melekat pada diri setiap manusia, dengan Gender yang ranahnya adalah pribadi. Kacamata yang digunakan seorang pendidik adalah sebatas mengajar, tanpa perlu membeda-bedakan melihat melalui latar belakang dan bahkan ikut campur dalam masalah orientasi seksual muridnya.

Diskriminasi berbasis SOGIESC di lingkungan Pendidikan harus dihentikan. Dengan isu diatas semoga semakin mendorong Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI untuk menindaklanjut pelaku kasus-kasus serupa dan langkah pencegahan selanjutnya atas permasalahan tersebut.

Demi kemajuan Indonesia di bidang Pendidikan, dunia pendidikan harus ramah, menerima dan mengajarkan keberagaman sehingga jangan sampai ada lagi diskriminasi berbasis SOGIESC, apalagi yang dilakukan oleh tenaga pendidik.

Editor: Soprian Ardianto