Pulau Emas di Bagian Barat Pulau Sumatera

Caption foto: Pulau Enggano (Foto/dok: Sahabat Rakyat)
Caption foto: Pulau Enggano (Foto/dok: Sahabat Rakyat)

Oleh: Benny Hakim Benardie, Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu  

Provinsi Bengkulu terletak di bagian barat Pulau Sumatera, merupakan suatu negeri yang banyak menyimpan kekayaan dan menjadi perburuan masyarakat di berbagai pelosok dunia. Kekayaan materiel dan immateriel masih banyak yang belum terkuak dan di gali.

Tentunya, itu merupakan tanggungjawab Anak Negeri Bengkulu dan Pemerintah provinsi, kota dan kabupaten setempat, untuk “mengangkat arai terendam” itu setinggi-tingginya, agar kian tampak mana emas mana loyang, untuk kejayaan provinsi yang tercinta ini.

Sekelumit tulisan ini, hanya paparan tanggung jawab sebagai anak Negeri Bengkulu yang menginginkan “Kita Menginginkan Kebenaran Sejarah Negeri Bengkulu, Bukan Pembenaran Sejarah“.

Dua buah Kitab Ramayana yang ditemukan pada Tahun 72 Masehi di Ajoda atau Ayodhya. Satu kitab ditemukan di Kota Benares (Kota suci di India) menceritakan, adanya tujuh negeri dan dua daerah yang diantaranya penghasil emas dan batu mulya. Negeri yang dimaksud adalah Lu-Shiangshe dan Phalimbham.

Dalam kitab Ramayana  tersebut  dikatakan, “Periksalah baik-baik Javadviva, yang mempunyai tujuh buah kerajaan yaitu Pulau Emas dan Pulau Perak, negeri yang dihiasi pandai emas”. Terlukiskan bahwa Negeri Phalimbham dan Lu-Shiangshe itu dikabarnya pulau amat subur. Tanahnya banyak mengandung emas. Mempunyai ibu negeri bernama  Perak dan pada sebelah barat negeri, terdapat sebuah penyeberangan (Yang dimaksud dalam Ramayana, sebuah tempat penyeberangan dimaksud adalah Pulau Enggano atau nama lainnya OCOLORE).

Adapun tujuh kerajaan atau negeri dimaksud adalah:

  1. Phalimbham (Negeri yang berada di Provinsi Banten),
  2. Lu-Shiangshe (Negeri yang berada di Provinsi Bengkulu),
  3. Chalava atau Tarumanagara (Negeri yang berada di Provinsi DKI Jakarta),
  4. Kutei (Negeri yang berada di Kalimantan Timur
  5. Phã-mnalä-yû Tulang Bawang di Provinsi Lampung.
  6. Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ (Sriwiyaya) di Provinsi Sumatera Selatan.
  7. Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn di Provinsi Riau.

Jika penulis mengacu kepada kitab Ramayana itu, maka tampak jelas bahwa di nusantara ini sekurang-kurangnya pada awal tahun Masehi sudah  ada  negeri. Paling tidak telah ada tujuh pemangku ayer atau kerajaan sebagaimana disebutkan. Tujuh negeri dimaksud diatas, mungkin sekali merupakan ibu negerinya dan tidak tertutup  kemungkinan, masih banyak lagi negeri-negeri kecil yang belum sempat diceritakan dalam kabar Ramayana itu.

Tujuh negeri yang disebutkan-sebut itu semuanya berada  di pesisir pantai dan sungai. Perlu dijelaskan, bahwa letak kerajaan Hindhu Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn (Tahun 10 sM) dengan ibunegeri Crï-Iňdrâpurä adalah negeri yang di sebut-sebut dalam naskah kuno, merupakan sebuah negeri yang terletak di Muara Sungai Kampar.

Mungkin lebih tepat kita sebut negeri yang terletak menghadap kelaut (Kerajaan itu memiliki pelabuhan laut dan pelabuhan sungai). Dengan demikian jelaslah bahwa kerajaan yang dimaksud bukan negeri/Kota Siak Sri Indrapura yang ada sekarang.

Kerajaan Hindhu Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn itu telah ada sebelum adanya Kerajaan Bhuddha Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ,  karena jarak berdirinya tiga kerajaan ini, tidak begitu jauh (Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ, Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn dan Phã-mnalä-yû Tulang Bawang).

Perlu penulis jelaskansebagai catatan, pada abad ke-I Masehi  hingga pertengahan abad ke-V Masehi, beredar berita dari para pelaut China dan India tentang adanya berbagai perompakan di Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Ini merupakan indikasi, sekaligus bukti bahwa perairan laut Nusantara telah ramai dilayari kapal-kapal (Jong) dari negeri-negeri yang jauh dari Nusantara. Keterangan ini sekaligus menepis adanya anggapan bahwa pada awal Masehi, Negeri Nusantara ini masih tertutup, lengang sama sekali.

Negeri atau kerajaan-kerajaan di Nusantara terus tumbuh dan berkembang, meskipun ada pula yang tenggelam, hilang sama sekali akibat bencana alam, wabah penyakit dan akibat perang

Sebagian nama kerajaan dan negeri yang disebut dalam berbagai kronik atau naskah klasik masih dapat ditemukan,  terutama naskah yang berasal dari pihak asing yang pernah singgah  ke Negeri Nusantara pada masa lalu. Selebihnya, sulit untuk ditelusuri dan ditemukan kembali,  karena telah berubah nama. Ada pula yang nama negeri itu sudah tidak di wilayah negeri yang semula dimaksud.

Dalam perkembangan masanya, diantara tujuh negeri yang disebutkan, terus berkembang menjadi kerajaan besar dan kuat seperti  Tarumanagara, Phalimbham, Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ dan Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn itu sendiri. Sebagian lainnya menjadi kerajaan kecil seperti Kutei dan Kerajaan Phã-mnalä-yû Tulang Bawang. Bahkan ada kerajaan atau negeri yang hilang sama sekali seperti halnya Lu-Shingshe di Provinsi Bengkulu.

Keberadaan Pulau Emas

Keberadaan negeri-negeri tersebut, juga terungkap dalam peta yang dibuat pada Tahun 127 – 151 Masehi oleh Claudius Ptolomeus, seorang Bangsa Yunani kelahiran Iskandariah Mesir yang tinggal di Alexandaria.

Peta kuno juga ditemukan pada Tahun 165 Masehi itu menyebutkan adanya  “Golzden Chersonese, Pulau Emas  di Jabadiou”. Kata Jabadiou itu diambil dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu Jaba+ diou. Jaba artinya sama dengan  enjelai atau kacang-kacangan dan Diou artinya tanah.

Dari tulisan ini penulis mengajak untuk merekonstruksi kembali sejarah Tanah Bengkulu, mengungkapkan perjalanan panjang Anak Negeri Lu-Shiangshe. Komunitas yang memproklamirkan dirinya sebagai kelompok masyarakat (Etnik) Suku  Rha-hyang,  Ra-Hyang, Re-Hyang atau Re-jang (Rejang). Mereka yang pertama kali berlayar ke Tanah Bengkulu  pada 185-254 Tahun Imlek atau 186-117 Caka atau 264 – 195  sebelum  Masehi (sM)  bersama pengungsi India, Maladewa (Srilangka), China dan Arab.

Komunitas yang menamakan dirinya dengan kata Etnik Rha-hyang yang berartinya Dewa Rha (Ra) yang maha berkuasa. Dalam bahasa Sangsekerta (Sanskrit) dapat diartikan penyembahan kembali. Maksudnya, orang yang sudah lama meninggalkan kepercayaannya dan kembali taat menyembah Dewa. Mereka terdiri dari para Rahib  Hindhu yang tersingkir bersama keluarga, akibat adanya pengembangan agama Bhudha pada masa pemerintahan Asoka.

Etnis Rejang tidak hanya menunjukkan nama yang mendiami sebuah negeri di pesisir barat pantai Bengkulu, tetapi juga sekaligus menunjukkan adanya aktifitas yang pernah dikerjakan penduduk yang bermukim di pesisir pantai tersebut. Komunitas pertama yang tiba dan membangun Negeri Lu-Shiangshe (Baca:Bengkulu) itu adalah para penambang emas dan batu mulia yang pandai dan gigih.

Negeri Lu-Shiangshe berada di wilayah Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara. Kata Lu-Shiangshe merupakan bahasa China klasik yang berarti sungai harum atau wangi.  Secara terminologi berarti Negeri Sungai Kejayaan, Sungai yang memberi kehidupan/harapan atau Sungai Emas.

Negeri Lu-Shiangshe ini diperkirakan telah ada bersamaan dengan keberadaan Negeri Andripura (Indrapura), Maco (Muko-muko), Tapan (Nampan) dan Ippoh (ipuh:Getah yang beracun). Negeri-negeri yang telah ada di pesisir Pantai Barat Pulau Sumatera.

Sejak Tahun 264–216 sM, para pedagang dari berbagai negeripun berdatangan, seperti dari India, Mala Dewa (Srilangka), China dan bangsa Arab. Perdagangan di Negeri Lu-Shiangshe ramai. Perniagaannya dengan menggunakan barter pasir emas.

Penduduk awalnya, mata pencariannya hanya sebagai penambang emas, batu mulia dan bertani. Pada Tahun 237 sM Negeri Lu-Shiangshe semakin ramai disambangi para pedagang dari Jazirah Arab. Hingga  pada Tahun 225-216 sM, pendatang dari China (Hyunan China daratan) turut memadati, meramaikan Negeri Lu-Shiangshe. Mereka datang melalui jalur pelayaran klasik, transit Pulau Enggano dan menjadikan negeri ini sebagai sentral perdagangan untuk wilayah India dan Maladewa.

Etnis Hyunan (China daratan) atau Chung Ku-o Jen yang tiba pada Tahun 224 – 233 Tahun Imlek atau  147 – 138 Caka atau  225 – 216 sM  juga memproklamirkan diri, mengaku sebagai suku Rha-Hyang Lu-A(e)bongshe (Rejang Lebong).

Sudah menjadi tradisi, untuk mengukuhkan suatu nama Etnis, suku dan sekaligus mengangkat kepala ayer atau suku dengan melakukan pesta besar-besaran. Biasanya dengan menyembelih hewan kerbau merah dan akhirnya bersama-sama mendiami Negeri Lu-Shiangshe (264 sM-198 M).

Lu-A(e)bongshe

Kata Lu-A(e)bongshe itu sendiri semula berarti anak sungai,  tempat orang Suku Rha-Hyang (Rejang) melakukan kegiatan mencari pasir emas dan batu mulia yang banyak terhampar dipermukaan kedangkalan sungai. Kata Lu-A(e)bongshe, sama dengan kata Dayak atau Da-ayak, yang diambil dari bahasa Phã-mnalä-yû atau Phã-mnalä-yë.

Dalam bahasa  Melayu klasik, kata DA-AYAK artinya Da adalah besar dan Ayak berarti menyaring (Mendulang). kata DAAYAK berarti, “mereka (Pencari emas) yang menggunakan alat pendulang yang besar”. Mengayak atau mendulang emas selanjutnya berubah menjadi Lu-A(e)bong (Lebong) yang mempunyai konotasi lobang. Evolusi bahasa seperti ini terjadi secara umum di setiap bahasa daerah di Indonesia.

Sumber: Benardie, Hakim Sabri, Naskah Seminar Sejarah Maritim Indonesia, 2006, Jakarta. Shiemphon, Tan Kwie Chang, Shiang shiang K’un–Lun Shan, 757 tahun Imlek atau tahun 308 Masehi, hal 158.