Singkap Peribahasa Melayu Bengkulu

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Menteri BUMN Erick Thohir dalam Upacara HUT Ke-78 RI.(Tangkap layar streaming Kompas TV)
Caption foto: Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Menteri BUMN Erick Thohir dalam Upacara HUT Ke-78 RI.(Tangkap layar streaming Kompas TV)

Oleh: Benny Hakim Benardie, Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu

Peribahasa merupakan ala bertutur lama yang kini mulai terpinggirkan dan  terlupakan. Hanya kaum tradisional yang umumnya masih mengunakan, menjaga  peribahasa warisan budaya nenek moyang Melayu Bengkulu lama tersebut.

Generasi 2000-an mungkin saja pernah mendengar, tapi enggan mengungkap makna daripada majas yang terlontar dari ungkapan orangtua. Padahal peribahasa Melayu Bengkulu lama itu ibarat “Qur,an buruk (usang)”. Ndak dibuang takut doso, ndak dibaco la cabikmencabik. Simpan tula penyudahannyo”.

Tidak itu saja, ironisnya generasi zaman kini di Tanah Melayu Bengkulu,  acap kali keliru persepsi terhadap peribahasa yang ada. Ini akibat pragmatisme dan menganggap kini eranya berkata  jelas, tegas dan tidak ‘melambing’.

Akibatnya, generasi Melayu Bengkulu baru tersebut di atas, kurang  mengenal bahkan enggan mengetahui kata kiasan dari peribahasa yang lama ada. Akibatnya, peribahasa diartikan dengan apa yang terungkap, tersingkap saja.

Tutur beradab   

Menyimak Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, peribahasa memiliki dua pengertian. Pertama, peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu.

Kedua, peribahasa merupakan ungkapan atau kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.

Peribahasa itu sendiri merupakan perumpamaan dalam perbandingan makna yang sangat jelas bila diamati. Apalagi peribahasa perkataan seolah-olah, ibarat, bak, seperti, laksana, macam, bagai dan umpama.

Karena budaya dalam majas (Satu bentuk gaya bahasa) itu tak diajarkan, dijelaskan maka, mereka menangkap persepsi negatif dari peribahasa yang ada, akibat abai akan makna kiasan tak pernah di jelaskan. Lantas, bagaimana peribahasa baru akan muncul dan membudaya, kalaulah  peribahasa lama saja tak pernah mau diungkap?

Konon orang tua Melayu Bengkulu jarang marah dengan ungkapan yang tak senonoh kecuali khilaf. Ini tentunya peran dari berperibahasa  dalam menyampaikan, mengutarakan sesuatu, agar penuh makna. Apalagi dengan acap bertutur dengan berperibahasa dapat memperhalus kata, mempertajam rasa dengan beragam makna.

Peribahasa juga memiliki peran untuk mengkomunikasikan kebijaksanaan, pengetahuan dan pengalaman sepanjang Generasi Melayu Bengkulu lama dari berbagai sisi kehidupan. Terkadang, peribahasa Melayu Bengkulu lama acapkali mengadopsi atau menyerap dari peribahasa serumpun lainya, di luar Provinsi Bengkulu. Itu karena ada persamaan situasi ataupun kondisi, dengan pemaknaan ungkapan yang agak berbeda.

Peribahasa Melayu Bengkulu lama

Dari sekian banyak peribahasa Melayu Bengkulu lama yang ada, penulis memetik beberapa peribahasa yang cukup populer saja dan mengungkap makna peribahasa Melayu Bengkulu tersebut:

“Lubuk Kecik Buayo Banyak” (Lubuk Kecil Buayanya Banyak). Ini merupakan peribahasa lama yang populer kisaran Tahun 60-70-an dan ingin menunjukan bahwasanya Tanah Bengkulu kala itu merupakan kota kecil dengan peluang keuntungan  yang diperebutkan banyak orang.

Analogi merujuk pada pada kota Bengkulu lama yang yang berlahan gambut, dibelah banyak anak sungai. Kala itu buaya masih banyak di anak sungai, mereka memperebutkan lubang (Lubuk) tempak  ikan yang ada.

Situasi dan kondisi Bengkulu lama  kala itu maka timbulah ungkapan peribahasa  dan tidak berkonotasi negatif tapi kompetitif. Bila saat ini peribahasa dikonotasikan negatif, wajar karena pemaknaan itu sifatnya dinamis. Apalagi yang di asumsikan itu dengan sifat ‘buaya’.

Ini peribahasa yang mengunakan majas simile, dimana menggambarkan suatu keadaan Bengkulu kala itu, dengan membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lainnya.

”Berre Secupak, Ikan Sejerek Madar”. Peribahasa ini cukup populer di Tahun 70 hingga 80-an dan sempat ‘diplintir’ pemaknaannya, dengan menganggap bahwa orang melayu bengkulu merupakan sosok masyarakat pemalas, maunya santai. Padahal makna tidak demikian.

Peribahasa “Beras dua liter (Cupak; alat ukur beras), ikan satu ikatan yang berisi kisaran 6 atau 8 lalu duduk santai (madar)”.  Menunjukan Bengkulu lama itu kaya akan hasil alamnya.

Masyarakat Melayu Bengkulu menganggap, tak usah tergopoh-gopoh atau ngoyo mencari rezeki. Nikmati hasil yang ada hari ini, besok kita cari lagi. Apalagi perairan Bengkulu lama kala itu, ikan masih banyak. Kelapa dan rempah lainnya tinggal metik saja.

Ungkapan peribahasa ini menitikberatkan pada prinsip hidup masyarakat kala itu yang mudah memperoleh kebutuhan hidup. Dalam perkembangan masa, peribahasa itu ditambahkan menjadi “Berre Secupak, Ikan Sejerek, Kopi Segelas Rokok Sebatang, Madar”.

“Otta Gedang Cirik Kerre” (Obrolannya Besar {Hebat}, Tahinya Keras). Di Tahun 80-an, peribahasa ini cukup populer, untuk menyebut sosok seseorang atau kelompok tertentu yang kalau bicara hebat, ‘selangit’, saat diminta faktanya nihil.

”Panjanglah Muncung daripado Idung” (Panjanglah  Bibir mulut daripada Hidung). Ungkapan peribahasa yang ingin menunjuk seseorang atau kelompok  yang sombong, merasa hebat sendiri.

”Dikapak Parang Dogol” (Di Bacok Golok  Tumpul). Ini peribahasa yang mengungkapkan seseorang diterpa nestapa atau masalah, tapi deritanya tanggung. Jadi diibaratkan kena baok sama golok tumpul, seseorang memang tidak luka tapi dampak hantamannya membuat lebam dan berbekas.

Kata orang Melayu Bengkulu, “Tekato-kato dikapak parang dogol. Luko idak, tapi badan tebirek-birek”

“Lemak Ngecek, Sego Berasan” (Enak Ngobrol, Susah Berunding”. Ini peribahasa mengungkapkan sosok seseorang yang merupakan teman ngobrol yang asyik apapun itu. Hanya saja saat kita butuh bantuan, pertolongan, diajak berunding maka orang tersebut sulit dimintakan pertolongan.

“Ari Pane Ajo Lenya, Apolagi Ari Ujan” (Hari Panas Saja Becek, Apalagi Hari Hujani”. Peribahasa yang ingin menunjukan orang itu tidak rajin. Acapkali peribahasa itu ditujukan pada perempuan, isteri yang kurang tanggap akan bersih-bersih dirumah.

”Idak Dapek Pokok, Pucuknyo Jadi Jugo” (Tidak Dapat Pokok, Pucuknyo Jadi Juga). Peribahasa yang mengibaratkan pada sebatang pohon. Biasanya digunakan seseorang yang lagi kasmaran, tapi di tolak seseorang perempuan. Seorang pria berharap, kalau kakaknya (Pokok pohon) tidak didapati cintanya, maka pria berharap adiknya di dapatinya.

Peribahasa yang penulis ungkap diatas hanya  delapan dari ratusan peribahasa Melayu Bengkulu yang ada. Mengingat modernisasi kian melanda, diharapkan peribahasa merupakan budaya lokal dapat terinventarisir oleh pihak yang berkompeten, agar tak punah dimakan zaman.