Pembiaran Situs Bersejarah Bukit Tapak Paderi Bisa Terpidana

Infonegeri, KOTA BENGKULU – Longsor Bukit Tapak Paderi, di Ujung Karang Kota Bengkulu pada Rabu (17/6) hingga kini sudah dua bulan lebih belum juga dibangun. Situs bersejarah peninggalan Kolonial Belanda Tahun 1905 kian tak diperdulikan bahkan pemerintah lempar tanggungjawab, nampak disitu ada pembiayaran.

Padahal Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Tujuan Pemerintah mengeluarkan UU tersebut adalah untuk melestarikan Cagar Budaya dan membuat Negara serta-merta bertanggung jawab dalam hal perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Ternyata pembiaran kerusakan situs The Orange Bank, bangunan tugu mirip mahkota untuk memperingati HUT ke-25 Yang Mulia Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda kala itu, akibat pemerintah Provinsi Bengkulu dan Pemerintah Kota Bengkulu saling tolak dalam kewenangan kepemilikan dan pengelolaan bukit bersejarah itu.

Dengan diaturnya hal ini di dalam peraturan perundang-undangan yang memiliki daya ikat yang kuat, jika terjadi pembiaran begitu saja maka sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada BAB XI Ketentuan Pidana pada Pasal 101 dan Pasal 102 .

Pasal 101 setiap orang yang tanpa izin mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 102 Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 103 Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 104 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 105 Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dilansir sebelumnya Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Bengkulu, Mulyani Toha saat dikonfirmasi apakah ada rencana pihak Provinsi akan membangun areal longsor Bukit Tapak Paderi? Tebing Bukit Tapak Paderi itu merupakan kewenangan Pemerintah Kota Bengkulu. Coba koordinasikan dengan pihak kota.

Saat dikoordinasikan dengan pihak kota, Wakil Walikota Bengkulu, Dedi Wahyudi singkat menegaskan kalau longsor di Bukit Tapak Paderi itu kewenangan Pemerintah Provinsi Bengkulu.

Sikap saling tolak itu tentunya membuat kebingungan dan mengancam keberadaan bukit dan situs bersejarah yang ada. Meskipun Bukit Papak Paderi kini keberadaannya tinggal separuh, pasca di papas untuk pembangunan jalan era Gubernur Bengkulu Hasan Zein sekira 19 tahun lalu.

Melihat tidak adanya koordinasi dan ‘ogah’ berkolaborasi antara Pemerintah Provinsi Bengkulu dengan Pemerintah Kota, tokoh masyarakat Bengkulu yang tinggal di Jakarta, Benny Suharto menyayangkan jika tidak tercipta koordinasi dan kolaborasi antar Pemerintah Provinsi dan Kota.

“Terlepas itu menyangkut otonomi daerah, tapi saya rasa untuk Provinsi Bengkulu dari Kabupaten Muko-muko hingga Kaur, berbagai pihak harus punya tanggungjawab. Khusus soal Tapak Paderi yang tebingnya mengalami longsor, kini terkendala soal itu kewenangan kepemilikan apakah areal Pemprov atau Pemkot Bengkulu, ini tentunya menyedihkan”, ujar Benny Suharto yang kini politisi dan Bendahara Umum DPP Partai Ummat saat dihubungi via Hp selularnya, Senin (06/09/2021).

Benny Suharto berharap berbagai pihak, jangan sampai mempolitisir perbedaan kewenangan ini. Dorong pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten agar tetap dalam koordinasi dan berkolaborasi membangun, mengentaskan keterpurukan yang ada. Apalagi kini pademi belum juga berakhir.

“Seperti yang saya katakan beberapa waktu lalu, hal-hal yang krusial seperti pengelolaan situs sejarah dan budaya yang ada, perlu dipublish hingga masyakat luar tahu. Karena ini untuk daerah. Jangan soal keburukan seperti kasus ijazah diributkan dan malu kita”, ungkap Benny sembari tertawa. [Soprian]