Dewan Pers “Fasilitator” Bukan “Bos” Media dan Wartawan

Caption foto: Elfahmi Lubis (Instagram/pribadi)
Caption foto: Elfahmi Lubis (Instagram/pribadi)

Oleh: Elfahmi Lubis, Akademisi/Dewan Pakar JMSI Provinsi Bengkulu

Pers merupakan pilar utama negara demokrasi dan sekaligus merupakan alat kontrol agar tercipta sistem check and balances. Mengingat strategisnya peran dan fungsi.pers, maka negara wajib memberikan perlindungan (proteksi), pengaturan, dan jaminan bagi insan pers untuk bebas, merdeka, independen, imparsial, dan berkembang sesuai dengan jati dirinya sebagai pers yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, konstitusi, konsepsi NKRI serta prinsip bhineka tunggal ika.

Dari aspek pengaturan, pers memiliki regulasi sendiri sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berdasarkan mandat UU Pers, secara teknis dan etis dibentuk Dewan Pers yang memiliki fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2), yaitu: (a) melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, (b) melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, dan (c) menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, (d) memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, (e) mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah, (f) memfasilitasi organisasi-pers dalam menyusun peraturan-peraturan dibidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; dan (g) mendata perusahaan pers.

Layaknya sebuah profesi, wartawan atau jurnalis merupakan profesi mulia dan bermartabat. Maka, untuk menjaga marwah, harkat, dan martabat profesi wartawan, maka perlu standar etik/moral berupa kode etik jurnalistik dan standar kompetensi (profesionalitas) berupa Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Hal yang sama juga berlaku untuk profesi.lain seperti advokat, dosen, dokter, perawat, apoteker, akuntan, psikolog, dan lain-lain.

Persoalannya, dalam hal ini dewan pers tidak boleh memonopoli kewenangan yang telah diberikan, sehingga terkesan “mengebiri” atau meniadakan peran organisasi profesi wartawan dan perusahaan pers itu sendiri. Dewan Pers dalam konteks UU Pers hanya sebagai fasilitator, yang harus mengembangkan sinergi, kolaborasi, koordinasi, supervisi, dan sinkronisasi dengan stakeholder pers. Dengan demikian keberadaan Peraturan Dewan Pers, yang mewajibkan wartawan dan perusahaan pers terverifikasi dan lulus ujian kompetensi wartawan (UKW) bertentangan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f, yang jelas menyatakan fungsi dewan pers adalah “memfasilitasi organisasi-pers dalam menyusun peraturan-peraturan dibidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan,”

Jika kita menggunakan penafsiran gramatikal, sebagaimana yang sering digunakan dalam penafsiran hukum, yaitu berdasarkan tata bahasa atau ilmu bahasa (de gramatikale of taalkundige interpretatie). Maka, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata memfasilitasi adalah memberikan fasilitas. Contoh: Pemerintah Daerah telah memfasilitasi pendirian balai wartawan. Sementara itu berdasarkan KBBI Online, definisi atau arti kata memfasilitasi adalah fasilitas atas sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi atau suatu kemudahan.

Maka berdasarkan makna gramatikal di atas, jelas Dewan Pers tidak diberikan mandat oleh UU Pers No 40 Tahun 1999 tentang Pers, untuk menetapkan kewajiban terverifikasi dan UKW bagi wartawan dan perusahaan pers. Dalam konteks ini, keberadaan dewan hanya memfasilitasi dan bersinergi dengan organisasi profesi wartawan dan perusahaan pers dalam pembentukan/pembuatan peraturan-peraturan bidang pers dan peningkatan kualitas profesi wartawan. Tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh dewan pers sendiri, tapi harus dilakukan secara bersama dengan dengan organisasi profesi wartawan dan perusahaan pers. Dengan demikian jika terjadi perbedaan pendapat terkait dg peraturan yang dibuat, bisa langsung dapat dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi. Bukan seperti yang terjadi saat ini, dimana ada penolakan yang keras dari insan pers yang merasa dirugikan atas peraturan dewan pers.

Tindakan melampaui kewenangan yang telah diberikan UU merupakan perbuatan melawan hukum. Dengan demikian langkah insan pers mengajukan uji materi UU Pers No 40 Tahun 1999 tentang Pers ke MK merupakan langkah yang sudah tepat, sehingga dapat diuji apakah kewenangan dewan pers dalam melakukan verifikasi dan UKW terhadap perusahaan pers dan wartawan tersebut bertentangan atau tidak dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yaitu hak setiap warga negara untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun.

Sementara itu berkaitan dengan Pasal 15 ayat (5) bahwa keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Terhadap keberadaan pasal ini para pemohon uji materi UU Pers, meminta agar keputusan Presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis.

Saya memaknai keputusan presiden dalam pasal ini, bukan dalam konteks keputusan ‘otorisasi” atau “aktif” presiden seperti mengangkat menteri atau kepala lembaga pemerintah non kementerian. Tetapi seharusnya, dimaknai secara “administratif” dan “pasif” setelah diputuskan atau diusulkan melalui mekanisme organisasi pers yang demokratis. Dalam konteks ini, seperti presiden melalui Menkumham mengesahkan kepengurusan partai politik hasil sebuah kongres, munas, atau muktamar.

Soalnya, keberadaan pasal di atas, telah ditafsirkan dewan pers dengan membuat peraturan yang “merugikan” profesi wartawan dan perusahan pers. Misalnya, menjadi tidak terdaftar alias ilegal dan oleh sebab itu dilarang menjalin kerjasama dengan pemerintah dalam kegiatan yang berkaitan dengan publikasi, sosialisasi, promosi, dan iklan.

Kita semua sepakat bahwa perusahaan pers dan profesi wartawan itu perlu pengaturan, demi untuk memudahkan proses pendataan, peningkatan kualitas, kesejahteraan, dan perlindungan kepada insan pers Indonesia. Terakhir, maju terus pers Indonesia sebagai pengawal demokrasi.